Bab XV - Gone -

611 34 5
                                    


- Kiran -

Tatapanku tak pernah lepas sedari tadi ke arah samping. Dimana cowok yang paling kucintai berada. Bahkan, sejak aku naik ke mobil ini hingga sekarang hampir tiba di tujuan kami, mataku tak pernah lepas darinya.

"Aku akan semakin berat meninggalkanmu kalau kamu bersikap seperti ini terus Kiran." Dan dia pun akhirnya berucap kemudian menatapku.

"Hanya memuaskan mataku. Toh, sebentar lagi aku akan susah melihatmu seperti ini Rif" kataku berusaha tetap tersenyum. Rifan juga balas tersenyum padaku. Meski bisa kulihat sorot kesedihan dimatanya.

Hari ini, mungkin adalah hari terberat yang pernah kualami selama aku bersama Rifan. Pacarku tercinta. Cowok yang paling kucinta. Karena hari ini, aku harus benar-benar melepasnya pergi untuk menuntut ilmu di negeri orang.

Sebelum hari ini tiba, kami tidak terlalu banyak melakukan perpisahan. Kami melewatinya seperti biasa. Karena, bagi kami ini bukan perpisahan. Ini hanya sebuah proses dari sebuah kebahagiaan.

Dan aku? Walaupun berusaha tegar mati-matian. Tapi, aku tetap saja sedih. Menangis tiap malamnya sejak setujunya Rifan untuk kuliah diluar negeri. Dan mungkin akan tetap menangis selama beberapa waktu. Biar saja aku menangis tiap malamnya dikamar, agar aku tak bisa mengeluarkan airmataku lagi saat bertemu dengannya. Membuatnya merasa berat. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku sudah ikhlas. Dan harus ikhlas.

"Kita sampai" Rifan akhirnya kembali bersua membuyarkan lamunanku.

Jantungku makin berdetak kencang saat membaca tulisan digedung ini, "Bandara Internasional" serangan kesedihan datang dari setiap sudut tubuhku.

Aku dan Rifan turun dari mobil. Hari ini Rifan tidak menyetir, supir keluarganya mengantar kami. Kami menunggu supir menurunkan barang-barang Rifan. Beberapa saat, mobil lain berhenti dibelakang kami. Turun disana, Ayah dan Bunda Rifan yang juga mengantar kepergian anaknya.

Saat kami masuk ke bandara, Rifan pun pergi melapor. Dipakainya kacamata hitamnya dan menuju ke konter pelaporan. Waktu tinggal 15 menit lagi dari berangkatnya pesawatnya. Rifan tidak ingin berlama-lama dibandara, jadi dia sengaja datang jam segini. Meski prosedurnya harus satu jam melapor sebelum keberangkatan.

Tangan hangat dan lembut menyentuh bahuku. Aku mendongak dan mendapati Bunda Rifan merangkulku dan tersenyum. Aku balas tersenyum.

"Tetap tegar ya. Kalian pasti bisa melewatinya." Ucap Bunda Rifan.

Bibirku membentuk garis lurus. Senyum tegar kusunggingkan. "Iya tante. Kami sudah siap kok". Bunda Rifan pun mengelus bahuku menambahkan ketegaran untukku.

Rifan selesai melapor dan berjalan kearah kami. Aku mengeluarkan handphoneku dan hendak mengabadikannya. Mumpung hari ini dia sangat tampan. Meski selalu tampan sih.

Jepret Jepret Jepret.

Ku ambil beberapa foto Rifan yang sedang berjalan kearahku dan sedang menatap kearah lain. Foto ini akan kusimpan didompetku nanti. Pengingat bahwa pacarku sedang bergulat mengejar masa depannya.

Setibanya Rifan disampingku, Bunda Rifan pergi meninggalkan kami. Mungkin memberikan waktu.

"Aku harus pergi sekarang. Pesawat sebentar lagi akan berangkat" ujar Rifan. Dia membuka kacamatanya dan kembali bisa kulihat sorot sedih itu.

Desiran kesedihan juga melandaku dengan hebat. Menggetarkan seluruh tubuh dan sanubariku. Airmata mengumpul dikelopakku. Kugigit pipi dalamku menahan serangan ini. Aku tak boleh menangis. Tidak boleh.

Tangan Rifan terangkat menyentuh pipiku dan mengelusnya. Hal itu membuatku makin tak tahan untuk menangis. "Menangislah. Jika kau ingin menangis. Kau menahannya seperti membuatku makin terluka" pinta Rifan. Dan seakan mengikuti tujuannya, air mata ini mengalir dengan deras membuat bibirku bergetar dan nafas tersenggal-senggal.

When Sunrise Come - Slow UpdateWhere stories live. Discover now