Bab XIV - Conversation -

485 36 15
                                    


- Kiran -

Aku berdiri di balkon lantai 2 sekolahku dan tersenyum senang melihat pemandangan di lapangan sekolah. Para kakak kelas sedang merayakan kelulusan mereka. Corat-coret baju, tertawa bahagia, jeprat-jepret sana-sini. Sungguh pemandangan yang menyenangkan.

Pagi tadi, kakak kelas tiga disekolah kami yang sudah melewati tahap ujian nasional, sekolah maupun praktek telah dinyatakan lulus. Dan, disekolahku semuanya lulus 100%. Termasuk Rifan, pacarku tercinta. Dan yang lebih membanggakan, karena pacarku itu lulus dengan rangking 1 umum. Luar biasa.

Mataku mencari-cari sosok pacarku ditengah kerumunan disana. Senyumku makin lebar saat bisa kulihat dia sedang ikutan corat-coret baju dan berfoto bersama teman-temannya. Saatnya berbagi kebahagiaan. Aku pun turun kelapangan. Merasakan atmosfir kebahagiaan yang berlimpah ruah disana.

"Happy graduation sayang." Teriakku saat aku telah berada didepan Rifan. Kupeluk tubuhnya sesaat kemudian mengambil pilox ikut mencoret bajunya.

"Makasih ya sayang" jawabnya dengan senyum tulus. Aku hendak memberikan tanda tanganku dilengan bajunya, tapi tanganku dicegat. Aku mendongak bingung menatapnya. "Aku sudah mengosongkan tempat untukmu" ujarnya kemudian menunjuk dada kirinya yang masih kosong. Tepat ditempat jantungnya berdetak. Aku tertawa dan langsung mencoretnya dengan tanda tanganku.

"Rif, ayo berfoto bersama teman-teman kelas dan walikelas" teriak teman sekelasnya.

"Oke. Meluncur" sahutnya. Kemudian menatapku. "Tunggu sebentar ya sayang" pintanya.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Pergi dan berbahagialah" seruku. Rifan pun berlari dengan senyum tampannya menuju teman-temannya.

Nafasku terhembus. Suatu saat aku pasti akan merasakan euforia kelulusan ini. Tinggal bersabar saja. Aku menatap lagi Rifan yang sedang asyik tertawa-tawa bahagia bersama teman-temannya yang sebentar lagi akan terpisah.

Melihatnya yang tertawa lepas seperti itu, aku sungguh lega. Karena semenjak hari dimana dia mengungkapkan mengenai ketidakinginan-nya menjadi dokter, dia jadi berubah. Selama liburan itu, dia memang jalan-jalan denganku. Tapi dia tak bahagia.

Meski tak dia ungkapkan secara langsung, aku bisa melihatnya. Dia tertawa tapi tidak lepas. Dia tersenyum padaku tapi seakan ada beban. Dan kadang aku memergokinya sedang melamun. Seakan dia sedang akan menghadapi sesuatu yang menyedihkan.

Aku bukannya diam saja melihatnya seperti itu, tentu saja aku menanyakannya. Tapi, dia selalu berdalih tak ada apa-apa. Dia baik-baik saja. Dia menyembunyikan sesuatu dariku. Bukannya aku tak mempercayainya. Tapi, aku sudah setahun lebih hampir dua tahun bersamanya. Aku sangat tahu dia. Setidaknya dia harus berbagi denganku jika memang ada apa-apa.

Tiba-tiba, aku tersentak akan tepukan pelan dibahuku. Sontak aku menoleh. Berdiri dibelakangku, Bundanya Rifan dan disampingnya seorang pria yang sangat tampan dan raut wajahnya seperti Rifan. Ayahnya kah? Ah iya! Itu Ayahnya. Aku ingat wajahnya difoto.

"Kiran, ini Ayahnya Rifan mau kenalan. Kan belum pernah ketemu" Bunda Rifan menjelaskan. Mungkin melihat wajahku yang melongo. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang.

Pria itu, Ayahnya Rifan mengulurkan tangan didepanku. "Aku Ayahnya Rifan. Kamu pacarnya ya?" Katanya.

Aku meraih tangan beliau dengan gugup. "Iya om. Aku pacar Rifan" aku sungguh bersyukur karena aku tidak tergagap dengan memalukan didepan orang tuanya Rifan.

Ayahnya Rifan tersenyum hangat padaku. "Maaf baru kenal sekarang. Aku cukup sibuk jadi tidak banyak dirumah." Ucap beliau dengan ramah.

"Ah. Tidak apa-apa om." Sahutku singkat. Bingung mau ngomong apa.

When Sunrise Come - Slow UpdateWhere stories live. Discover now