Bab IV - Why?! -

760 48 6
                                    


- Rifan -

Aku duduk di atas meja ruangan hukuman untuk para peserta MOS sambil melipat kedua tanganku di atas dada-bersedekap dan menatap cewek di hadapanku dengan wajah garangku.

"Apa alasanmu melakukan hal itu. Hah?!" Seru ku berusaha menahan emosiku yang kini sudah sedikit mereda.

Cewek di hadapanku ini masih menunduk ketakutan. Entah karena tatapanku atau karena memang dia merasa bersalah atas kesalahannya hari ini.

"Ingat, kamu itu masih peserta MOS. Aku bisa saja dengan mudahnya tidak meluluskanmu atas apa yang kau perbuat hari ini. Dan, ya selamat tinggal untuk ijazah SMA nanti" kataku dengan suara dalam dan seriusku. Mendengarku, dia mendongak dan menatapku dengan wajah yang makin ketakutan. Di peraturan sekolah ku ini. Sertifikat MOS menjadi salah satu persyaratan untuk bisa mengambil ijazah. Ya, maklum kita sekolah swasta. Dan yang tidak lulus MOS, tentu saja tidak akan mendapat sertifikat MOS. Atau..

"Atau kau boleh mengulang MOS di tahun depan." Sambungku kemudian. Memang mirip dengan universitas sih peraturannya. Mungkin karena sekolah kami sekolah swasta yang terkemuka di kotaku.

"Ja.. Jangan kak. Maafkan aku. Aku takkan mengulanginya lagi" sahutnya kini akhirnya setelah sekian menit lamanya berdiam diri. Suara cemprengnya terdengar mencicit seperti burung kecil. Rasanya aku ingin tertawa melihatnya, tapi aku terlalu marah untuk melakukan itu. Hari ini dia keterlaluan.

"Aku tau kamu kesal aku menghukummu seperti itu. Tapi yang kamu lakukan itu tidak masuk akal. Bagaimana kalau aku sampai kena usus buntu atau masuk UGD karena perilakumu itu?" Suaraku kini terdengar sangat emosi.

"Ma.. Maaf kak. Aku salah. Aku siap kok di hukum apa saja. Tapi jangan tidak luluskan aku ya kak" dengan terbata-bata dia pun menyahut. Aku menghembuskan nafas, sudahlah. Toh, aku tak kenapa-napa. Hanya sakit perut selama beberapa menit. Setelah itu tak lagi. Tapi tetap saja dia harus dihukum.

"Tentu saja kamu akan di hukum. Tapi tentang lulus atau tidaknya itu tergantung besok. Siapa tau besok kamu melakukan kesalahan fatal lagi." Seru ku masih kembali kesal mengingat kejadian tadi pagi.

"Iya kak." Sahutnya lemah.

"Oke. Ini hukuman mu" kataku sambil melemparkan meteran ke arahnya yang langsung di tangkapnya dengan cermat. Dia memandangku dan meteran itu bergantian.

"Hukuman mu, kamu harus menghitung luas tanah sekolah ini dari halaman gerbang depan, sampai taman belakang sekolah." Sambungku sambil menatapnya masih dengan wajah garangku. Ekspresi terkejutnya yang begitu lucupun tercipta kembali di wajah imutnya itu. Untuk kesekian kalinya aku menahan senyumku. Rasanya kekesalanku tadi menghilang perlahan. Dasar Kiran, mahluk konyol. Dia satu-satunya cewek yang mampu membuat kekesalanku atau emosi mereda dengan cepat begini. Yang sangat jarang terjadi.

"Apa yang kamu tunggu? Cepat kerjakan! 30 menit! Aku sudah dapat hasilnya!" Seruku kemudian. Kiran masih dengan posisi dan ekspresi kagetnya.

"Baik kak. Permisi" Dia pun menjawab dengan pelan dan kemudian berbalik meninggalkan ruangan dengan bahu terkulai.

Braakk..

Pintu pun tertutup. Aku turun dari atas meja dan kemudian bersandar di atas meja sambil meletakkan tanganku di saku celana. Ku palingkan wajahku di jendela, dan dari sini aku bisa melihat sosok Kiran yang sedang berjalan dengan meterannya. Membuat senyumku tersungging sempurna.

Seharusnya aku masih marah dan sangat kesal dengannya atas kejadian tadi pagi. Tapi semua hilang melihat wajah konyolnya yang sebenarnya imut dan well, cantik. Tapi, kejadian tadi pagi takkan ku lupakan seumur hidupku. Aku memintanya untuk membuatkan ku sarapan tadi pagi. Dan memang dia melakukannya. Dia membawakanku nasi goreng komplet dengan sayur-sayuran, sosis dan telur ceplok serta juice mangga. Saat mencium aromanya seketika membuatku lapar begitupun tampilannya yang sangat rapi.

When Sunrise Come - Slow UpdateOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz