Bab IX - Feeling -

746 49 10
                                    


- Kiran -

Aku menatap seorang cowok tampan di sampingku yang sedang berkutat serius dengan buku di tangannya. Itu pacarku, Rifan. Cowok yang sudah selama 6 bulan ini berpacaran dan menjalin hubungan cinta denganku.

"Kir, kau harus fokus belajar. Mid semester akan diadakan besok. Kau tahu itu" seakan tahu aku sedang memandangnya, Rifan menyahut diatas bukunya tanpa memandangku.

"Aku sedang belajar kok" sahutku masih menatap wajahnya.

"Maksudmu, belajar sambil melirikku?" Tanya Rifan dengan senyum menggodanya dan melirikku penuh arti.

Aku mengedikkan bahu dengan cuek "aku sedang berusaha melatih otakku dengan fokus beberapa hal dalam satu waktu. Salah satunya belajar sambil melirikmu"

Rifan tertawa mendengarku, menutup bukunya dan kini menghadapku dengan siku bertopang pada sandaran bangku. Dia begitu mengoda dengan gaya seperti ini.

"Kiran sayang, kamu boleh melatih otakmu dengan cara yang aneh seperti itu, tapi tidak sekarang. Besok mid semester, dan kamu bukan di kelas reguler lagi. Kamu harus banyak belajar jika ingin tetap menjadi juara sepertiku" Rifan kembali tersenyum menyamping saat mengatakan hal terakhir.

"Tenang saja. Aku pasti akan bisa selalu juara sepertimu. Dan juga juara dihatimu" seruku dengan intonasi menggoda. Rifan tertawa lagi dan mencubit pipiku.

"Ayolah. Back to learning. Sebelum orang-orang di perpustakaan ini mengusir kita karena berisik" serunya kemudian duduk menghadap depan dan berkutat lagi dengan bukunya.

Aku menatap kiri-kanan, semua yang ada disini sedang asyik membaca dan belajar. Berbicara dan berisik adalah hal yang sangat salah di perpustakaan dengan buku yang paling lengkap, interior yang mewah dan nyaman ini.

Besok adalah Mid Semester di semester ganjil ini. Mid semester pertamaku, dan mid semester kedua terakhir untuk Rifan. Sebenarnya ini sudah waktunya pulang, tapi Rifan mengajakku untuk belajar dulu di perpustakaan. Sebab, sekolah kami tutup itu tepat pukul 21.00. Karena bukan hanya belajar, disini juga banyak club yang latihan setiap hari.

Sebulan sejak menuntut ilmu disini, aku dipindahkan di kelas bilingual karena prestasiku. Tentu saja persaingan makin ketat. Karena, jika di kelas reguler terdapat 30 siswa per kelas. Maka, di kelas bilingual hanya 20 siswa. Dan didalamnya 20 orang yang berprestasi di sekolah. Jadi, aku harus berjuang lebih keras untuk tetap mempertahankan rangking 1 umum ku. Rifan juga di bilingual, dan setiap tahunnya dia selalu rangking 1 umum. Luar biasa.

"Setelah lulus Sma, kamu akan melanjutkan kuliah di mana dan jurusan apa?" Suara Rifan tiba-tiba mengema pelan padaku.

"Kuliah? Hmm.. Aku belum memikirkan hal itu. Tapi, sejak dulu aku selalu bercita-cita menjadi dokter" ujarku ragu-ragu.

Rifan kembali meletakkan bukunya diatas meja dan menatapku "Itu cita-cita yang bagus. Kenapa kamu kedengarannya ragu?"

Aku mengigit bibirku. Rasanya sakit harus menceritakan ini. "Aku tahu dengan benar menjadi dokter bukan hanya soal kepintaran dan prestasi. Tapi, juga biaya." Gumamku sambil menunduk.

"Orang tua aku takkan mampu membiayakan ku kuliah kedokteran. So, aku tak begitu bermimpi tentang itu" lanjutku kini kembali mendongak menatapnya.

Rifan meraih bahuku dan mengelusnya, tersenyum hangat padaku. "Jangan sedih. Kamu bisa mendapat beasiswa kan? Itu hal mudah. Karena aku tahu kamu pintar dan berprestasi"

"Tapi, beasiswa saja tidak cukup. Masuk kedokteran butuh beli buku ini itu. Dan itu tidak murah. Jadi, sudahlah aku tak mau berharap. Daripada menyakitkan" jawabku sambil mengeleng.

When Sunrise Come - Slow UpdateWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu