Bab XIV - Conversation -

Mulai dari awal
                                    

"Kalau begitu boleh om berbicara berdua denganmu?" Tanya beliau kini. Jantungku makin berdebar disarangnya.

"Boleh om." Jawabku.

"Baiklah. Disana saja" sahut beliau menunjuk gazebo dibelakang kami. Aku dan Ayahnya Rifan pun menuju gazebo disana. Sementara Bundanya meninggalkan kami. Katanya, akan menyapa teman-temannya. Tapi, rasanya Bundanya memberikan waktu untukku dan Ayah Rifan berbicara.

Dari perjalanan singkat tempatku berdiri tadi ke gazebo, aku sungguh grogi. Suhuku sampai panas dingin, berkeringat dingin dan jantungku tak henti-hentinya melompat.

Aku dan Ayahnya Rifan duduk berhadapan di gazebo sekolah kami. Gazebonya cukup jauh dari lapangan. Jadi, kami terhindar dari keributan.

"Gini nak Kiran, om to the point saja ya. Om juga tak bisa lama-lama. Mau balik ke RS" ucap beliau memulai.

"Iya om. Gak apa-apa" jawabku.

"Kamu tahu kan, sekarang Rifan sudah lulus. Dan, setelah kelulusan dia harus melanjutkan study-nya." Ujar beliau. Aku mengangguk menangapi. Beliau menghembuskan nafas berat kini. "Om minta bantuanmu untuk membuatnya benar-benar menyetujui untuk melanjutkan study-nya sesuai keinginan om" lanjut beliau.

Keningku berkerut. Bingung. Tapi, aku masih diam saja. Biarkan beliau menjelaskan sepenuhnya.

"Memang dia sudah menyetujui akan kuliah mengambil fakultas kedokteran. Tapi, dia tidak menyetujui untuk kuliah ditempat yang om inginkan. Dan, om pikir mungkin ini karena kamu"

Nafasku tercekat. Karena aku? Darimana coba Ayah Rifan menyimpulkan hal itu. Aku jadi tak enak. Aku tak mau menjadi penghambat masa depan Rifan. Aku menginginkan terbaik untuknya.

"Memangnya om mau dia kuliah dimana?" Tanyaku takut-takut.

"Di Cambridge University, London." Jawab beliau. Mataku seketika mengerjap. Rasa dingin mengucur sekejur tubuhku. Rasa sedih tiba-tiba memukul telak. Aku jatuh tersungkur ke liang kesedihan. London? Diluar Indonesia? Pantas saja Ayah Rifan menyimpulkan seperti tadi.

Saat aku masih terdiam dalam keterkejutan dan serangan kesedihan, tanganku diatas meja gazebo disentuh oleh tangan hangat Ayah Rifan. Aku mendongak menatap beliau. Entah bagaimana ekspresiku sekarang.

"Om tahu, ini berat untukmu. Berat untuk kalian berpisah dan menjalani hubungan jarak jauh. Om juga pernah mengalaminya bersama Bundanya Rifan. Tapi, nak. Semua ini demi masa depan Rifan. Kalian pasti akan berbahagia suatu saat. Ini hanya sementara" jelas beliau. Tahu tepat bagaimana perasaanku. Dan apa yang beliau katakan itu benar. Aku tak boleh egois.

"Aku tak masalah om. Aku menginginkan yang terbaik untuk Rifan. Kami pasti bisa melewatinya" meski aku bisa mengatakan hal itu dengan lancar, tapi hatiku hancur berkeping-keping.

"Om tahu kamu wanita yang baik dan tegar. Kamu pasti bisa mengikhlaskan anak om. Untuk itu, om minta tolong ke kamu membujuknya. Karena, om dan tante tak berhasil. Om yakin kamu pasti bisa. Rifan mencintaimu" pinta Ayah Rifan dengan senyum.

Senyumku berusaha kutekuk. Meski sekarang ini rasanya aku ingin menangis meraung-meraung. "Iya om. Aku akan coba membujuknya. Jangan khawatir" sahutku.

"Terima kasih Kiran" jawab Ayah Rifan dengan senyum lebar. Menampilkan kegantengan beliau.

Aku sudah mengiyakan. Aku harus menepatinya. Meski sangat sakit. Meski sangat berat. Aku harus melakukannya. Aku tak tahu bisa pisah atau tidak dari Rifan. Karena faktanya, berhari-hari tidak bertemu dengannya saja rasanya hidupku hampa. Bagaimana nanti berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Oh no words! It's hurt. But, I will try! Itulah tugasku sebagai orang yang mencintainya. Tegar Kiran!

When Sunrise Come - Slow UpdateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang