Robot itu berhenti bekerja. Dia mendongak dengan sangat perlahan, memutar kepalanya 180 derajat hingga menatap Andri. Kaget, Andri menunduk dan berjalan menjauh dengan cepat. Bulu kuduknya berdiri tegak, ia bisa merasakan tatapan si robot di punggungnya hingga akhirnya dia berbelok di sudut. Andri mencapai bundaran kota yang juga gelap gulita. Ada

beberapa robot lagi yang sedang bekerja, merapikan jalanan, membersihkannya dari kotoran dan sampah yang berserakan. Saat dia melewati mereka, Andri bisa merasa seolah para robot tersebut menatapnya. Ia bahkan yakin para robot berhenti bekerja saat ia berlalu. Merasa bingung dan takut, dia terus berjalan, melewati televisi raksasa yang kini sedang mati, terus hingga mencapai trotoar yang sudah familiar. Di jalanan tersebut, hanya beberapa belas menit dari rumahnya, lampu- lampu jalanan menyala lebih terang dan gedung-gedung digantikan dengan rumah-rumah yang memiliki lampu luar yang juga menyala. Dia merasakan ketenangan menjalarinya.

Namun, mendadak dia mendapati adanya dua sosok beberapa meter di depannya. Dan kedua sosok tersebut — siapa pun mereka — tampak sedang berjalan ke arahnya.

Dia melambatkan langkahnya, membiarkan mereka sampai lebih dulu di bawah cahaya lampu jalan. Kedua sosok tersebut tersinari oleh cahaya, dan tampaklah wujud mereka: dua pemuda, mengenakan jaket tua yang robek-robek, celana jins yang rombeng, berambut panjang berantakan, dan berpenampilan sangat kotor. Mereka berjalan dengan agak oleng, seolah-olah sedang mabuk.

Junkies, pikir Andri. Para preman, pemabuk, pemadat. Dia menunduk, bergeser lebih jauh ke tepian luar trotoar agar kedua orang tersebut dapat lewat tanpa menyentuhnya. Mereka kian mendekat, dan Andri menahan napas, tegang. Saat mereka berpapasan, ia bisa mencium bau sangat tidak enak dari mereka berdua. Dia bergeser menjauh, tidak tahan dengan bau tersebut.

Tiba-tiba, sebuah tangan menyambar sikunya.

Andri terkejut, namun sebuah tangan lagi menutup mulutnya, membuat teriakannya terhenti. Dia menatap wajah orang yang menahannya tersebut dengan ngeri, menyaksikan mulutnya membuka, gigi-gigi kuningnya bergerak, dan seringai yang terbentuk di sana.

“Wah, wah,” kata pemuda tersebut. “Ada cewek di sini, Jon.”

“Masa’? Aku tak tahu mereka juga menyediakan cewek, Roy,” jawab pemuda satunya lagi, yang baru saja disebut sebagai ‘Jon’.

“Memang tidak, tolol. Kita sudah meninggalkan pesta payah itu. Sekarang kita... baru saja menemukan cewek... cewek sungguhan... yang sangat jauh lebih menyenangkan, sepertinya...” desis pemuda tersebut, yang bernama ‘Roy’.

“Ooooh, benarkah?”

“Ya,” bisik Roy. Dia melepas cengkeramannya dari mulut Andri, dan Andri menghela napas, dadanya naik-turun dengan cepat. Rasa panik melandanya, dia berusaha melepaskan diri, namun genggaman Roy pada tangannya masih terlalu kuat.

“Mau melawan ya,” kata Roy, terkekeh. “Bagus. Sangat bagus. Siapa namamu-UGH!”

Andri mengayunkan tangannya sekuat tenaga, dan dalam ayunannya tersebut, berhasil mengangkat Roy tinggi-tinggi, memutarnya, dan membantingnya ke tanah — semuanya dalam satu gerakan. Genggaman Roy pada tangannya lepas. Sejenak, dia kaget, namun melihat Roy yang terbaring di tanah, mengerang, dia tahu ini kesempatannya. Dia berlari menjauh —

“Akh!”

Baru beberapa meter berlari, dia terjatuh ke tanah dengan keras. Pemuda satunya, Jon, telah berlari mengejarnya dan menyergapnya dari beakang. Dia meronta, namun Jon menahan kepalanya di tanah, membuatnya tak bisa bernapas, apalagi berteriak.

“Diam!” gerutu Jon. “Diam atau kupatahkan lehermu! Diam!”

Roy telah bangun, mengerang kesakitan, menyentuh kulit kepalanya yang berdarah. Dia berjalan mendekati Andri, mengeluarkan sebuah pisau.

“Dia senang main kasar!” seru Roy, terkekeh lagi. “Jon, buka bajunya! Kita lihat dia!”

Jon, terkekeh juga, menjambak rambut Andri kuat-kuat. Kepala Andri tertarik ke belakang, dia kesakitan hingga tak bisa bersuara. Dia mendengar suara sabuk dibuka, dan rasa panik makin melandanya. Dia ingin berteriak, ingin meronta, ingin lari dan kabur, namun rasa sakit di kepalanya terlalu besar. Perlawanannya terasa sia-sia. Dia mulai menangis, air mata mengalir di pipinya. Roy mendekatinya, menyentuhnya —

“Menjauh darinya,” sebuah suara berbicara.

Roy dan Jon berhenti tertawa. Mereka menoleh, Jon bahkan melepaskan jambakannya, mendorong kepala Andri ke trotoar. Mengaduh kesakitan, Andri berguling, memegangi luka di dahinya.

Melalui matanya yang berair, Andri melihat seorang pria berdiri beberapa meter dari mereka. Tubuhnya besar, sepertinya mencapai dua meter atau lebih. Dia mengenakan jas hujan berwarna hitam, dan di bawah bayang-bayang pohon, dia tampak seperti raksasa. Lalu, ia mulai berjalan ke arah mereka bertiga.

“Saya ulangi, menjauh darinya,” perintah pria tersebut, nada suaranya sangat dalam.

Roy, memandang pria tersebut, menyeringai dan terkekeh lagi. Dia berkata, “Kalau kami tidak mau, apa yang akan kamu lakukan? Melapor polisi?”

“Saya peringatkan untuk terakhir kalinya, menjauhlah darinya.”

Mendengus geli, Roy menoleh kepada Jon, yang juga tampak geli. Mereka berdiri berdampingan sekarang, menghadapi si pria tersebut.

“Kau dengar katanya? ‘Menjauh darinya’,” kata Roy, menirukan suaranya.

“Ya. Kau ini... apa? Vigilante? Mau sok pahlawan?” tanya Jon, menunjuk si pria. “Kau tahu, bung? Kami pikir, kau yang seharusnya pergi.”

“Saya akan memperingatkan kalian sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya,” ujar si pria, masih dengan suara dalam yang sama.

Roy tertawa terbahak-bahak, menggeleng-geleng. Dia mengusap wajahnya, lalu mendongak menatap pria tersebut.

“Tidak,” bisiknya.

Tanpa peringatan sama sekali, Roy menyerbu maju dengan pisaunya. Dia mengacungkannya pada si pria, diarahkan tepat ke dadanya. Mereka bertubrukan, dan sebuah suara tusukan terdengar.

Darah menetes-netes ke trotoar. Sejenak, hening. Kemudian, perlahan-lahan Roy merosot, jatuh ke tanah dan terpuruk. Pisaunya menancap di dadanya.

Ia tidak bergerak.

Pria tersebut mendongak untuk menatap Jon. Jon sendiri, setelah beberapa detik terpaku, akhirnya bisa bergerak kembali. Dia mundur, sementara si pria maju.

“B-berhenti!” kata Jon, mengeluarkan sebilah pisau dari jaketnya, mengacungkannya dengan gemetaran. “Kubilang, berhenti! Berhenti!”

Namun si pria tidak berhenti, dia malah mempercepat langkahnya. Ngeri, Jon berbalik, berlari ke tempat Andri masih terbaring, hendak menyambarnya. Tapi, tangan pria itu mencapainya lebih dulu. Jon berteriak, namun suaranya tidak berarti. Pria itu mengangkatnya, melemparnya. Ia mendarat di trotoar, beberapa meter di belakang Roy berada. Sebuah suara krak mengerikan terdengar. Ia mengerang kesakitan.

“Pergi,” perintah pria tersebut, jelas dan tegas.

Jon tidak butuh perintah lagi. Memegangi siku kirinya, dia berjalan, susah payah dan sempoyongan, menjauh dari tempat tersebut, meninggalkan temannya begitu saja. Setelah dia berbelok di sudut jalan, si pria akhirnya maju lagi, mendekat ke Andri. Andri bergerak mundur secara naluriah, ketakutan.

Cahaya lampu menyinari pria tersebut, dan rupanya tampak sepenuhnya. Wajah tersebut, kulit berwarna gelap, dan tubuh raksasa itu adalah milik si penjaga sekolah, Rho. Dia menunduk memandang Andri yang gemetaran.

“Bangun,” perintahnya. “Dan pulang ke rumah. Jangan pernah pergi sendirian di malam hari. Pergi.”

Andri tidak menjawab, dia bergerak mundur lebih jauh. Saat jarak di antara mereka sudah mencapai beberapa belas meter, barulah dia berani untuk bangun, menatap Rho, yang berdiri menjulang. Di belakang Rho, terbaring tubuh Roy, orang yang hendak menganiaya dirinya beberapa menit lalu. Kemudian, dia kembali menatap Rho, yang menatapnya balik dengan tajam.

Dia tak perlu diperintah dua kali. Berbalik, Andri mulai berlari, tidak berhenti hingga dia mencapai rumahnya.

BotsWhere stories live. Discover now