Satu

17.8K 659 56
                                    

Jika dulu Alexa selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik, maka sekarang tidak lagi. Siswa-siswi di SMA Cendrawasih sudah terbiasa dengan Alexa yang sekarang suka melanggar peraturan. Mereka tidak akan bertanya atau membujuk perempuan itu lagi. Karena hasilnya selalu sama, percuma.

Alexa terlalu bebal, keras kepala. Teriakan guru, gunjingan orang-orang, semuanya ia terima dengan senang hati. Sebenarnya, lebih ke arah tidak peduli.

Seperti siang ini contohnya.

"Alexa! Kenapa catatanmu masih kosong begini?" Bu Asni memelototkan matanya sambil berkacak pinggang.

Alexa tak mengacuhkan. Telinganya ia tulikan kendati rasa malu mulai menyergap. Alih-alih menuruti kemauan Sang Guru, Alexa lebih memilih untuk mempertahankan sikap batunya. Hal itu tentu membuat Bu Asni semakin murka.

"Jawab pertanyaan Ibu, Alexa! Kenapa kamu nggak nyatet? Kamu niat sekolah nggak? Kalau memang enggak, lebih baik nggak usah berangkat sekolah!" cercanya, terdengar kalap.

Alexa mendesis. Sejujurnya hatinya sakit dibentak seperti itu. Namun seperti biasa, Alexa tetap lah Alexa.

Bu Asni menghela napas panjang. Setelah mengatur emosinya, beliau kembali berkata dengan nada yang lebih rendah, "Kalau kamu nggak mau ikut pelajaran ibu, kamu bisa keluar."

Mendengar itu, Alexa langsung bangkit dari kursinya. Perempuan itu menatap balik Bu Asni selama beberapa detik sebelum akhirnya menundukkan kepalanya sedikit, bermaksud hormat.

"Permisi," katanya, lantas berjalan ke luar kelas, tak lupa membawa tasnya.

Teman-temannya memandang kepergian Alexa dengan tatapan yang berbeda-beda.

Reyhan terutama. Dia mengusap tengkuknya dengan gusar. Walaupun sudah tidak memiliki ikatan apa pun dengan Alexa selain teman sekelas, Reyhan tetap saja mengkhawatirkan perempuan itu.

Sesampainya di luar, Alexa menghembuskan napasnya. Merasa malu dan buntu. Sungguh, bukan ini yang dia mau. Bukan ini yang dia cari. Namun Alexa sudah terlampau jauh, dia tidak bisa kembali.
 

***

Jarum panjang sudah menunjuk ke angka sembilan. Langit sudah gelap dari beberapa jam lalu. Kalau saja Rafa tidak ingat bahwa Alexa lebih tua darinya, sudah dapat dipastikan bahwa kakaknya itu tidak dapat selamat kali ini.

"Dari mana lo?" tanya Rafa begitu Alexa baru sampai di rumah. "Dari tadi dihubungin nggak bisa-bisa. Paman sama Bibi nyariin lo. Sekolah kok balik jam segini. Sehari aja nggak usah buat orang khawatir nggak bisa ya?" ucap Rafa, terdengar menusuk sekaligus protektif.

Alexa mendesis. Benci dengan kebawelan adiknya yang meningkat akhir-akhir ini. "Lo juga, sehari aja nggak usah nanya-nanya mulu, nggak bisa ya? Bawel."

Rafa sebisa mungkin menahan diri. Sebagai laki-laki, dia jelas merasa memiliki tanggung jawab penuh untuk mengawasi kakak tunggalnya. Mau bagaimana pun, Alexa tetap lah perempuan. Perlu perlindungan dari kejamnya dunia luar. "Sampe kapan lo begini?"

Alexa diam.

Rafa kembali melanjutkan, "Jangan bikin keluarga malu. Yang ditinggal mati orang tua bukan cuma lo doang, gue juga. Jadi nggak usah merasa lo yang paling sengsara, Kak. Gue sama sekali nggak ngerti sama sikap lo. Emang dengan cara lo berubah goblok begini, bisa ngehidupin Papa sama Mama lagi? Mikir lo!"

Tiga detik setelah itu, Rafa baru sadar bahwa dirinya telah kelewatan. Kakaknya menangis. Rafa mengutuk dirinya. Dia begitu dikuasai emosi. Biar bagaimanapun, dia juga merasa sama kehilangannya dengan Alexa.

"Kak, maaf," ucap Rafa, pelan.

Tangis Alexa semakin pecah. Tanpa ingin mendengar ucapan Rafa yang menusuk itu lagi, dia segera naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Rafa memijit pelipisnya. Mereka sama-sama tertekan. Bedanya, Rafa masih menggunakan akal sehatnya. Berbeda dengan Alexa yang terlalu cuek dan bertingkah semaunya.

Satu jam kemudian, Alexa kembali turun. Refleks, Rafa langsung bangkit dan menjegat kakaknya.

"Mau kemana? Baru aja sampe," tanya Rafa heran melihat Alexa yang sudah terlihat rapi mengenakan minidress berwarna hitam.

"Bacot," sahut Alexa sembari berjalan menuju garasi.

Rafa diam, tak mengejar. Dia lelah sekali kendati hatinya tetap terus berdoa. Semoga kakaknya baik-baik saja.

***

Suara musik disco terdengar begitu menghentak-hentak, seolah mampu menulikan telinga siapa saja yang mendengarnya. Tempat itu pengap, aroma minuman beralkohol dan rokok menguar menjadi satu, menyengat hidung. Sementara di lantai dansa, segerombolan pria dan wanita menari dengan liar.

Alexa terduduk lemas di kursi bar. Kepalanya yang terasa berat digeletakkan di atas meja. Tangan kanannya sibuk memutar-mutar gelas berisi wine. Entah itu sudah gelas yang ke berapa, Alexa sendiri tidak ingat. Meskipun begitu, omongan Rafa beberapa jam lalu masih sangat menempel di kepalanya.

"Nggak usah merasa lo yang paling sengsara, kak."

Itu bukan kali pertama Alexa mendengar kalimat serupa. Namun tetap saja, tiap mendengarnya, Alexa merasa ngilu. Dia memang merasa jadi orang paling sengsara di dunia.

Malam semakin pekat, dan Alexa semakin tenggelam menuju dasar pikirannya. Dia bahkan tidak menyadari gelagat aneh seorang pria yang entah sejak kapan sudah berada di sebelahnya. Pria tersebut awalnya hanya diam memerhatikan, namun semakin lama semakin lancang. "Hei," panggilnya. "Ikut gue, yuk."

Alexa mendengar itu, namun sama sekali tak dia hiraukan.

"Yuk."  Ketika si pria mulai berani menyentuhnya, Alexa lantas merasa siaga.

"Jangan sentuh gue!" bentaknya galak. Ia mendorong pria lancang tersebut tanpa tenaga.

Senyum kotor terbit di bibir si pria, semakin mengikis jarak di antara mereka dan mencoba meraih pinggang Alexa. "Lo sendirian?" tanyanya.

Sialan. Walaupun mabuk, Alexa sangat sadar dia dalam bahaya. Ini bukan kali pertama dia terjebak dalam situasi seperti ini. "Gue bilang jangan sentuh gue, brengsek," ucap Alexa defensif.

"Gue bayar lo deh."

Alexa tertawa tanpa suara. Walaupun dia sedang mabuk, tapi dia masih bisa membedakan mana baik mana buruk. Nah, pria di depannya kini adalah yang terburuk dari yang terburuk. "Lo pikir gue cewek bayaran? Dasar gila," kata Alexa. "Pergi sana, cari cewek lain."

Pria tersebut tersenyum remeh. Sama sekali tidak merasa gentar. "Kalo lo bukan cewek bayaran, ngapain juga lo disini? Nggak usah jual mahal deh, mau gue bayar berap--"

BUGH.

Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya, satu pukulan keras tiba-tiba saja mendarat mulus di pipinya. Pukulan tersebut berasal dari seseorang yang baru saja datang. Pukulannya ternyata cukup keras sampai-sampai membuat si pria kurang ajar tersebut jatuh tersungkur.

"Apa-apaan lo?" sergah si pria penggoda, ia segera bangkit dari lantai.

Di belakang pria tersebut, terlihat beberapa laki-laki yang sepertinya merupakan teman dari si penyelamat Alexa.

"Fallen, udah, Fall," cegah salah satu dari mereka.

Laki-laki yang diketahui bernama Fallen tersebut memandang pria di depannya dengan benci. "Lo yang apa-apaan, brengsek!"

BUGH.

Fallen kembali meninju rahang pria itu.

Alexa berusaha membuka matanya selebar mungkin, ingin melihat apa yang sedang terjadi sebenarnya. Namun dia tidak dapat melihat dengan jelas, pandangannya mulai buram. Hanya suara kegaduhan saja yang dapat ia tangkap.

Melihat pria di hadapannya yang sudah tak mampu bangkit, Fallen mendengus. "Dasar lemah. Mending lo pergi sekarang! Jangan pernah ganggu dia lagi, itu juga kalo lo masih mau hidup."

Pria yang sudut bibirnya sudah berdarah masih diam. Disentuhnya rahangnya yang terasa nyeri sebelum akhirnya bertanya, "Lo siapanya dia, huh?"

Fallen tak membalas selama beberapa detik. Ketika sebuah ide terlintas di kepalanya, laki-laki itu membalas dengan lantang, "Gue cowoknya, mau apa lo?"

***

-REVISI.(yg ke sekian kali):(

180°Where stories live. Discover now