Bab IX - Feeling -

Start from the beginning
                                    

"It's oke. Jangan terlalu dipikirkan. Semua pasti akan ada jalan keluarnya. Masih ada beberapa tahun lagi" sahutnya dengan senyum tampannya. Aku mengangguk mantap padanya.

"Jadi, kamu bagaimana? Tahun ini kan kamu sudah harus mulai mendaftar" tanyaku kini berganti membahasnya.

"Aku tetap akan mengambil fakultas kedokteran. Tapi, masalah universitas dimana, aku masih memikirkannya" jawabnya sambil bertopang dagu.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Ayah mengingingkan ku kuliah diluar negeri sepertinya, tapi Bunda ingin aku disini saja. Bunda tak mau jauh-jauh dariku" jawabnya terlihat bingung.

"Kamu kan anak satu-satunya Bunda. Tentu saja Bunda tak mau jauh-jauh darimu" sahutku.

Aku sudah kenal baik dengan Bundanya Rifan. Dua minggu sejak kita resmi berpacaran, Bunda Rifan mengundangku makam malam bersama. Dan sejak malam itu, hingga sekarang kami begitu akrab. Rifan sering membawaku di rumah, jadi aku makin akrab dengan Bundanya. Kadang bikin kue bersama, masak bersama. Bundanya Rifan begitu ceria dan baik juga lembut. Wanita yang begitu idaman.

"Ya mungkin. Dan sebenarnya aku juga tak mau jauh-jauh darimu" ucapnya yang membuat dadaku berdesir hebat.

"Aku juga. So?" Sahutku.

"Entahlah. Aku akan memikirkannya lagi. Sekarang, fokus belajar dulu" ucapnya. Aku mengangguk mengerti menangapinya.

Rasa takut tiba-tiba menyelimutiku. Takut, bagaimana pada akhirnya Rifan memilih kuliah di luar negeri dan kami harus LDR-an? Aku tak sanggup jauh-jauh darinya. Tak sanggup tidak melihatnya lebih dari sehari. Tapi, aku tak boleh egois. Ini demi masa depan Rifan. Demi cita-citanya. Sebagai wanita yang mencintainya, aku harus mendukungnya. Sekalipun itu menyiksa. Tapi, semua akan indah pada waktunya kok. Aku yakin.

***

- Rifan -

Aku berjalan bersisian dengan Kiran disisiku. Keningku berkerut kesal melihat cowok yang sedang menatap kami dari lantai 3 dengan tatapan tak sukanya. Aku balas menatapnya dengan wajah garangku. Tapi, dia tak gentar sedikitpun.

"Kenapa temanmu itu belum pulang juga?" Tanyaku pada Kiran dengan sikap tak sukaku. Pandanganku masih beradu dengan cowok itu.

"Siapa?" Tanya Kiran balik. Aku menunjuk dengan dagu cowok yang masih menatap kami di lantai 3 itu.

"Oh Kevlar. Gak tau. Dia mungkin ada club. Setahuku, dia ikut club fotografer juga" jawabnya.

"Kau tahu, aku sangat tidak suka dengan temanmu si Kevlar itu" ujarku pada Kiran masih terus beradu tatapan dengan Kevlar.

"Rif, sudahlah. Dia hanya temanku" sahut Kiran kedengaran jengah.

"Tidak Kir, dia itu punya perasaan lebih padamu. Buktinya, dia terus mengikutimu kemana saja. Bahkan dia juga berusaha agar bisa masuk kelas bilingual setelah kamu pindah ke sana kan?" Jelasku kini tak lagi berusaha menutupi kekesalanku. Aku menatap Kiran dengan lekat.

"Iya memang. Tapi, perasaan itu hanya sebagai teman. Sejak dulu, sejak awal kita masuk sekolah dia memang sering mengikutiku kok" bela Kiran dengan santai.

"Kamu tak tahu sayang. Cowok, jika dia jatuh cinta atau suka dengan seorang cewek, dia akan mengikuti, mencari tahu dan terus berada dekat cewek itu. Seperti aku padamu." Ucapku.

Kiran kini menyampingkan bibirnya tampak berfikir. Tapi kemudian dia tertawa dengan kencang bahkan memegang perutnya. Aku menatapnya dengan kening terangkat.

"Gak mungkin lah. Seorang Kevlar bisa suka sama aku. Gak mungkin." Serunya sambil mengerakkan tangannya seakan hal itu tak mungkin.

"Mungkin saja. Kamu hanya tidak merasa saja sayang" kataku bersih keras.

When Sunrise Come - Slow UpdateWhere stories live. Discover now