Namun dunia adalah panggung judi kehidupan. Ia bertaruh, bahwa ia tidak akan menumpahkan air matanya jika bertemu dengan bunda. "Saya akan bertemu dengannya, Dok." Valent bangkit dari duduknya. Bersalaman dengan Dokter Rama.

"Kamu sudah tahu di mana kamarnya 'kan?"

Valent mengangguk. Keluar dari ruangan. Menghadapi ketakutannya, menemui seseorang dari masa lalu. Bunda.

●•●•●•●

Sudah lima belas menit ia mematung di depan pintu. Melihat sang ibunda dari kaca kecil yang berada di pintu. Wanita itu termenung, duduk di atas kasurnya menatap kosong. Kadang bergumam. Valent tidak dapat mendengar apa yang wanita itu ucapkan. Hanya saja, lewat gerak gerik bibir bundanya ia yakin ... ada nama Harlan di sana.

Kamar rumah sakit itu terang, bernuansa putih. Bunga yang berada di dalam vas terlihat masih segar, mungkin nenek sudah menggantinya.

Kini kakinya terasa semakin berat untuk melangkah lagi. Karena ia sadar, hatinya yang telah ia susun selama bertahun-tahun sekejap akan tercabik kembali. Bertemu bunda sama saja dengan membuka luka lama kembali bagi Valent.

Lekat-lekat ia memandang wajah wanita itu ... sudah berapa lama mereka tidak bertemu? Kini, wajahnya terlihat semakin tua, lebih kurus dari yang terakhir ia lihat. Apa rasanya koma selama bertahun-tahun?

Valent nyaris tak percaya ia selalu mempertahankan bundanya yang sekarat selama itu. Dan saat wanita itu sadar, ia malah takut untuk bertemu. Sama sekali ia tidak mengerti dengan dirinya sendiri.

Wanita itu meneriakkan sesuatu, tertawa, berbicara sendiri. Lekas Valent membuka pintu ruang rawat inap itu. Dalam beberapa detik, saat bunda ingin melepaskan selang infusnya ... Valent sudah memeluk wanita itu, erat. Sangat erat, seolah tidak ingin melepas lagi.

Rindu. Sungguh ia rindu. Wanita itu kini dalam pelukannya dan dia termenung.

"Bunda ... Valent kangen." Tidak tahu mengapa, padahal ia sudah bertaruh untuk tidak menangis, tetapi kini air mata sudah lolos dari pelupuk matanya. Valent menangis. Ia benar-benar menangis. Bahkan saat ayah meninggal, Valent tidak menangis. Bahkan saat jatuh Valent tidak menangis. Mengapa saat bertemu bunda air mata itu tidak bisa untuk bersabar?

"Harlan ... kamu Harlan 'kan?" Suara wanita yang dirindukannya itu kembali terdengar.

"Bukan, Bun. Aku Valent. Anaknya Bunda."

"Tidak, Harlan. Wajahmu seperti Harlan. Ya, kamu memang Harlan, bukan?"

Valent segera menghapus air matanya. Tangannya bergetar melepaskan pelukannya. Matanya menatap bunda lurus. "Harlan? Harlan? Kenapa harus Harlan terus Bunda? Ayah udah nggak ada. Percaya sama Valent, Bun."

Bola mata wanita itu berair. Ia memiringkan kepalanya seraya memperhatikan setiap inci wajah Valent. "Kamu ... Harlan?"

"Valent, Bun. Aku Valent! Bukan Harlan. Ayah sudah meninggal, Bunda!" Suara Valent meninggi. "Harlan, ayahku, sudah meninggal! Dia pergi jauh dan tidak mungkin kembali ...," ucapnya sekali lagi.

Harlan sudah meninggal, tak ada yang bisa mengubah hal itu. Mengapa Bunda memanggil dirinya Harlan terus? Hal itu begitu menyiksanya.

Suster tiba-tiba masuk ke dalam ruangan saat Valent membalikkan badannya bergegas pulang. Ia sudah dipenuhi emosi, ia ingin cepat angkat kaki dari tempat ini.

"Harlan!" Suara bundanya lagi-lagi terdengar. Valent tidak peduli lagi. Wanita itu terus meneriakkan nama Harlan, hingga suster menyuntikkan obat penenang barulah bunda tidak berteriak lagi.

Cukup, batinnya.

Ia sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Valent bertanya-tanya
... apa dia begitu mudah untuk dilupakan?

Apakah Ayfa-adiknya-juga begitu mudah untuk dilupakan?

Mengapa hanya Harlan yang bunda ingat? Padahal, begitu banyak orang di sekitarnya yang mencintainya. Dan masih dapat ia sentuh. Mengapa hanya Harlan?

Apakah yang namanya kebahagiaan itu hanya Harlan?

Valent mencoba untuk tidak peduli lagi dengan segala asumsi yang berada di otaknya. Ia segera membentangkan payungnya lalu menerobos hujan di tengah dinginnya malam. Perkiraan cuaca hari ini tepat, hujan memang turun.

Meski payung telah melindunginya, seragamnya kian lama kian basah karena angin bertiup begitu kencang. Ia berhenti sebentar, menutup payungnya kembali, membiarkan dirinya menyatu dengan hujan.

Valent mendongakkan kepalanya. Membiarkan hujan terus menimpa wajahnya.

"Ayah, Ayah pernah berkata untuk tidak berbicara lebih keras dari suara orang yang lebih tua dari Valent. Hari ini, Valent melanggar nasihat ayah. Maafin Valent, Yah. Maafin Valent, Bun."

●•●•●•●

Di rumah, Valent menemukan sang nenek berdiri di beranda rumah sambil menggosokkan kedua tangannya. Wajah sang nenek terlihat cemas. Valent hanya tersenyum taktala kedua bola mata mereka bertemu pandang.

"Valent nggak kuat lagi melihat bunda, Nek...." Valent memeluk neneknya erat. Tidak peduli dengan seragamnya yang basah.

"Jangan katakan ini pada Ayfa, Valent." Hestina memeluk Valent. "Nenek tidak sanggup melihat Ayfa menangis lagi."

Valent mengangguk kuat. "Aku--bahkan tidak bisa untuk tidak menangis melihat keadaanya. Ke mana saudaranya, Nek? Mereka tidak pernah datang. Seolah bunda selama ini sudah mati ... aku bertanya-tanya..."

Hestina tidak berkata-kata lagi. Ia hanya terdiam. Memeluk cucunya. Hestina tidak menangis lagi, ia hanya mengucapkan begitu banyak doa dalam heningnya. Wanita yang berumur lebih dari setengah abad itu merasa tidak ada gunanya lagi untuk ia menangis. Karena cucunya telah menangis, ia tidak mungkin untuk ikut menangis. Yang ia lakukan kali ini hanya diam, mencoba menenangkan. Hestina sangat tahu apa yang telah Valent lewati selama ini.

"Semua akan baik-baik saja, Valent. Nenek tidak akan pergi dari sampingmu."

Semoga semuanya akan baik-baik saja, itu pula harapannya.

===

Halo! Maaf sudah menunggu lama. Sebenarnya aku bakal post cerita ini kalau udah tamat. Tapi nggak kelar-kelar. Akhirnya aku mutusin buat ngepost aja, biar aku tahu apakah ceritaku bagus atau jelek. Maka dari itu kritik dan saran kalian sangat dibutuhkan!

Dan juga ini updatean pertamaku semenjak pengumuman wattys 2016. Hanya ingin bilang terima kasih karena Akustik menang di kategori penceritaan visual. Sekali lagi terima kasih💕💕

AkustikHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin