Gisel hanya bisa menggelengkan kepalanya, menatap sahabatnya miris, tidak mengerti arah pembicaraan Magenta yang menurutnya terlalu terpaku akan masa lalu. Hanya satu hal yang Gisel paham mengenai Magenta, bahwa gadis itu redup. Terlalu redup untuk berdamai dengan masa lalunya.

"Ge, kita itu sebenernya temen bukan?"

Gadis itu terdiam sejenak. "Gue juga nggak tahu. Menurut lo gimana?"

"Terlalu banyak rahasia di antara kita, Magenta. Gue nyaris gak pernah nganggep apa gue temen lo, rasanya gue gak pantas. Lo bahkan gak pernah mau cerita sama gue. Gue pikir, there's no secret between us. I think, berbagi cerita, saling menopang, saling mengingatkan adalah gunanya teman. Tapi kita?" Gisel segera mengalihkan pandangannya, membalikkan badannya lalu melangkah pergi. "Gue pulang."

"Lo mau pergi gitu aja, Sel?" Mendesah, gadis itu menahan lengan Gisel.

"Apa lagi? Gue udah capek."

"Dengar baik-baik, saat berbicara mengenai gue, mungkin lo merasa stranger. Lo memang gak tau apa-apa tentang gue. Mungkin lo ngira gue introvert. Bener. Nggak salah. Tapi hal yang gue tutupin itu bener bener sensitif, gue nggak bisa jelasin secara langsung. Gak bisa, Sel, saat gue cerita semuanya ... gue gak mau segala pertahanan yang udah gue buat selama ini runtuh begitu aja!"

"Omong kosong, Magenta. Padahal yang lo butuhkan hanya kepercayaan untuk gue! Dan mati pun gue nggak bakal ngancurin kepercayaan itu. Am I your friend?"

Magenta tertawa, yang kemudian beralih menjadi keheningan. "Jangan berjanji. Gak ada yang bisa megang omongan manusia. Entah besok atau lusa, bisa aja berubah."

"Oke kalo itu mau lo. Gue pegang kata-kata lo, Ge, jangan pernah pegang omongan siapapun! Kita lihat, apa lo sanggup?"

Punggung Gisel kini telah hilang di belokan. Magenta menyentuh pipinya, merasa ada cairan hangat di sana, segera ia menghapus. Mengingatkan pada dirinya, bahwa ia tidak lemah. Bahwa ia tidak sedang terpuruk. Bahwa hidupnya baik-baik saja dan tidak ada yang harus ditangisi.

Magenta tidak pernah suka menangis. Tapi, hal kecil saja selalu bisa membuat matanya berair. Nyatanya ia hanya makhluk lemah yang takut pada masa lalu dan suara keras.

Kemudian di tengah hujan, kereta membawanya memelesat menuju kota Bandung. Kali ini, lagi-lagi ia kabur untuk melupakan air mata yang memberontak keluar. Walau begitu, setibanya di rumah segala pertahanannya perlahan ambruk. Ia menangis hebat. Kabur, dia ingin kabur dari dunia ini untuk sejenak jika bisa.

Sejak hari itu, Gisel tak pernah kembali menyapanya padahal ia satu-satunya. Ya, baru saja sebuah pertemanan berakhir.

Magenta menghirup napas dalam-dalam, meyakinkan sesuatu di dalam hatinya, bahwa dirinya kuat. Lebih kuat dari siapa pun...

... dan dia masih dapat hidup dalam kesendiriannya.

"Semua akan baik-baik saja," bisiknya pelan.


Segera ia bangkit, mengambil wudhu di kamar mandi dan melaksanakan kewajibannya untuk sholat isya. Tidak ada tangis lagi, hanya ada doa yang ia bisikkan.

Suara ketukan pintu nyaris bersamaan berbunyi saat ia mengucapkan 'Aamiin' di pengujung doanya.

Seorang bocah lelaki menjulurkan kepalanya dari balik pintu sambil tersenyum lebar. "Kak Magen, makan malem yuk. Temenin Javier. Papa sama mama belum pulang ... jadi ... kita makan duluan aja, ya?"

Magenta tersenyum dibuatnya. "Sebentar ya, kakak beresin mukena dulu. Javier udah sholat isya, kan?"

Bocah lelaki itu nyengir. "Hehe, belom."

AkustikDonde viven las historias. Descúbrelo ahora