Bab III - Closer -

Start from the beginning
                                    

Tak terasa, MOS hari pertama ini sudah hampir berakhir. Dari pagi sampai sekarang pukul 15.12 ini. Kita sudah melewati tiga kegiatan. Yaitu materi dan pengajaran baik itu seputar sekolah maupun kurrikulum. Sekarang, tinggal satu kegiatan sebelum pulang. Dan kegiatan yang menyebalkan. Yaitu; meminta tanda tangan kakak-kakak osis. Hedeh, udah kayak artis aja. Okelah kalau di minta tanda tangan mereka langsung kasih. Ini? Kayaknya kita bakal di kerjain ini itu dulu deh. Susah lah jadi junior. Mana nanti akan di periksa pula. Siapa yang kurang dari 20 tiap harinya bakal di hukum besok. Asem dah.

Seorang kakak osis pun memberikan pengumuman, jika kegiatan ini sudah dimulai. Kita hanya di beri waktu sejam untuk kegiatan ini dan silahkan mencari tanda tangan kakak-kakak osis.

"Sar, kita cari yang baik-baik hati aja yuk. Malas banget yang suka ngerjain" ajak ku pada sahabatku Sarah. "Iya yuk. Kita lihat aja dulu anak-anak yang lain. Kalau ada yang dapat dari kakak yang baik. Kita ikutan" sahut Sarah. Kita pun cekikikan karena ide makan tulang kita.

Aku dan Sarah pun mulai mengumpulkan tanda tangan. Kita memang berhasil mendapatkan beberapa yang baik, tapi banyak juga yang mengerjai. Seperti di suruh nyanyi dululah, joget dululah, baca puisi dululah. Hedeh, sompret banget dah.

Dan sialnya! Tiap harinya kita harus mendapatkan tanda tangan 5 struktur tertinggi di osis. Yaitu ketua osis, wakil, sekretaris umum, bendahara dan ketua panitia MOS. Dan kelimanya itu sangat susah di dapatkan tanda tangannya. Aku dan Sarah malah baru bisa ngumpulin keempatnya. Itupun dengan susah payah di kerjain habis-habissan. Tinggal satu. Sang ketua osis yang sedang berdiri di bawah tiang bendera di kelilingi oleh teman-teman peserta MOS yang katanya belum sama sekali mentanda tangani satu pun buku peserta MOS. Sedangkan waktu tinggal 30 menit.

Aku dan Sarah pun mendekat ke kerumunan itu. Jujur saja, aku belum tau siapa sih sang ketua osis sok belagu itu. Udah kayak presiden aja. Minta tanda tangan aja susah.

"Eh, kenapa sih ketua osisnya gak mau tanda tangan?" Tanyaku pada salah satu wanita yang berdiri ikut mengantri. Kita berdiri di di kerumunan paling belakang.

"Gak tau. Dia cuman bilang sedari tadi kalau belum saatnya dia kasih tanda tangan. Ganteng-ganteng belagu" jawab wanita itu. Ganteng? Oke, ku akui hampir semua anggota osis lelaki di sini ganteng. Tapi, menurutku yang paling ganteng cuman satu.

Penasaran, aku pun naik di salah satu gundukkan agar wajah ketua osis yang di tutupi kerumuman pengantre tanda tangan itupun dapat kulihat. Sontak aku terkesiap melihat siapa orangnya. Asem dah!! Tuh lelaki tampan yang membuatku tak berhenti melihatnya waktu itu. Dan well ya, dia memang sedikit menyebalkan. Karena seenaknya. Dan dia juga arogan. Tapi, ganteng sih.

Melihatnya, aku jadi ingat surat cinta yang dia tugaskan untukku. Katanya, aku harus memberikannya langsung. Jika tidak, aku akan di hukum besok. Aduh, mana masih banyak orang lagi.

"Sar, bagaimana nih aku harus kasih surat ini ke Kakak itu. Jika tidak, aku bakal di hukum besok" kataku pada Sarah sambil mengenggam surat itu dan menunjuk sang ketua Osis yang belum ku tahu namanya itu.

"Ya udah kasih gih sana. Nanti malah dihukum lagi besok" sahut Sarah sambil mendorongku. "Tapi kan aku malu Sar, masih banyak orang." Jawabku.

"Kan cuman kasih surat kan? Ya udah selesai. Siapa tau kamu bisa di kasih tanda tangannya. Coba aja gih" Sarah terus mendorongku untuk maju. Sebenarnya aku ragu, tapi aku juga malas banget besok harus di hukum.

Dengan modal kenekatan besar, aku pun maju meringsut di tengah kerumunan. Dan akhirnya tiba di barisan paling depan. Tiba-tiba, tatapan lelaki ganteng tapi songong itu bertemu denganku. Dia menyunggingkan senyum miringnya dan bergerak-berjalan ke arahku. Oh God. Apa yang akan dia lakukan?

When Sunrise Come - Slow UpdateWhere stories live. Discover now