Paham akan kode tersebut, Rafa berdiri, berbalik dan pergi terbirit-birit di bawah guyuran hujan. Layaknya seorang yang ketakutan, sebab pasti pemandangan itulah yang paling normal di mata gadis itu, Gabriella. Dirinya masihlah Rafa yang culun.
Di belakang, Gaby nampak tengah berbicara pada Sam. Namun, tak sedikitpun suara itu terdengar olehnya, hujan terlalu berisik. Rafa pun memutuskan pulang saja. Ia mengambil motornya yang sudah tak dijaga segerombol pria menakutkan tadi, mereka masih di rumah itu.
Angin dingin yang menyusup ke pernafasannya membuat Rafa cepat-cepat menyalakan motor, dan ngegas pergi meninggalkan tempat aneh itu. Semoga saja ibunya belum pulang, bisa-bisa sapu melayang karena kasih sayang wanita itu yang berlebihan. Tak seperti ayah yang cuek, ibunya merupakan wanita cerewet yang sangat mudah khawatir.
Begitu fokus pada pikirannya, Rafa merasa berhalusinasi melihat seorang perempuan tengah bersandar pada kursi di salah satu teras rumah-rumah itu. Namun, kendaraan motornya melaju begitu cepat hingga dirinya tak tahu apakah penampakan yang dilihatnya itu nyata atau tidak. Terutama karena Pandanganya tertutup oleh deras hujan pada saat ini.
Segerombol pria yang seperti preman tadi mungkin saja tinggal di rumah-rumah tadi. Bukankah seharusnya wajar jika mereka punya anggota keluarga lain di rumahnya? Seperti ... perempuan tadi?
Tidak, Rafa yakin dirinya mengenal perempuan itu, dia tak seperti gadis yang tinggal di perumahan kumuh seperti ini. Siapa? Apa dirinya salah lihat? Tak mungkin pula ada hantu di siang bolong begini, 'kan?
••••
Di luar jendela, burung-burung walet betetbangan, menyambut bangunnya matahari untuk pagi yang cerah. Namun, tidak cerah bagi Rafa, dia duduk dengan wajah muram yang tak bersahabat. Terutama saat tak sengaja bersitatap dengan Gaby, rasanya sungguh tak mengenakkan.
Berbeda dengan seorang Gabriella yang profesional, dia menjalani paginya dengan senyum ramah dan tetap bersenda gurau dengan teman-temannya, Megan. Gaby duduk di bangku yang berada di depan Megan, smenetara Cantika membawa kursi sendiri dan ikut mengobrol bersama mereka.
Sekilas Gaby melihat Rafa yang tampak tak nyaman, pasti karena keberadaan dirinya. Tapi ya sudahlah, bukan urusannya juga.
"Heh Gagak, gue mau main taruhan sama lo." Cantika menatap Gaby dengan wajah iblisnya.
"Apaan?"
Cantika pun mendekat lantas berbisik. "Cepet-cepetan dapetin si Culun, yang menang dapet sejuta." Setelahnya Cantika duduk kembali dengan senyum yang lebar. "Pasti asik, mau gak?"
"Gak." Gaby menolak keras, ia tahu Cantika sejenis dengan para sadis di sekolahan ini. Tak ada angin tak ada hujan, gadis itu tiba-tiba mau main taruhan seperti ini, pasti ingin menjadikan Rafa sasaran bullynya. Tidak, tidak, tidak, energinya terlalu mahal untuk melakukan hal tak berguna itu.
"Yaudah 2 Jete, deh!" lirih Cantika, karena sadar Rafa ada di belakangnya.
"Males, lo aja sendiri sana, gue nggak tertarik." Gaby bersedekap dada, menatap ke jendela dengan tak acuh.
"Dih! Sok iye banget lo! Padahal kemarin juga sweet banget jalan bareng ke kela–"
"Shut!" Gaby membungkam mulut Cantika kuat-kat. "Kalo gak diem gue buang tuh mulut!" Tatapan tajam Gaby lemparkan ke gadis menjengkelkan itu. Saat itu sepi karena sudah mau jam masuk, makanya Gaby santai saja berjalan di dekat Rafa.
ESTÁS LEYENDO
CATCH SESSION
De TodoKeinginannya hanya satu, menangkap pelaku pembunuhan adiknya. Dan ya, ia seorang pendendam, jika seseorang merebut miliknya, maka milik orang itu pun akan ia rebut. Mata dibalas kepala, nyawa dibalas neraka. Tak apalah meski dirinya harus pindah sek...
CATCH-6
Comenzar desde el principio
