Urusan sekolah adalah hal mudah, Rafa menjalani kehidupan sekolahnya dengan baik. Meski dibenci teman-teman kelasnya, dirinya masih punya Alfie yang akan menemaninya ke kantin. Untuk beberapa bulan, ia ikhlas menjadi korban bullying demi mencapai tujuannya.
Kala bel pulang berbunyi, Rafa menuruni tangga dengan cepat. Dia berjalan di paling akhir, setelah semuanya keluar dari kelas. Rafa membuka ponselnya, membuka aplikasi dengan sebuah peta yang menampilkan titik merah. Kaki jenjangnya melangkah cepat, menyebrangi jalanan penuh kendaraan. Hingga, Rafa bertemu kembali dengan motornya yang ia titipkan di warung tak jauh dari sekolahan.
Memastikan tak ada yang melihat, Rafa melihat tas ringannya dan menyimpannya di dasbor motor. Begitupun dengan kacamatanya. Ia memakai helm full face setelah melepaskan kacamata legendarisnya. Seragam pun ia tutupi dengan jaket hitam, was-was ada yang tertarik membaca name tag serta logo sekolah di seragamnya.
Identitas sudah tertutupi, Rafa menunggangi kendaraan hitam itu dan melesat pergi. Pandanganya fokus pada jalanan serta peta dengan titik merah di ponselnya. Memasuki daerah pelosok yang kumuh, Rafa memelankan kendaraannya. Banyak rumah, tetapi sepi, aneh.
Celingukan ke sana ke mari, Rafa sampai di titik merah yang ada di petanya. Titik merah yang terus bergerak. Rafa menepikan motornya saat melihat jalanan kecil masuk ke dalam hutan. Ia pun menyembunyikan motornya di antara pohon-pohon pisang yang dikelilingi rumput-rumput tinggi.
"Gaby ngapain ke tempat beginian?" Rafa bergumam saat hanya melihat pepohonan di sekitarnya. Mengikuti pelacak lokasi yang dibawa Gaby, memang benar tempat ini lokasi Gaby berada. Tak banyak basa-basi, Rafa kembali mengikuti titik merah di ponselnya. Ia menyusuri jalanan setapak yang dipenuhi kerikil-kerikil mungil.
Selang beberapa menit, langkah Rafa langsung beralih masuk ke dalam rimbunnya tumbuhan. Tak peduli akan rasa gatal yang akan didapatkannya nanti. Yang penting hanyalah, orang itu tak melihatnya! Ada seseorang berdiri di depan sebuah bangunan sederhana yang memiliki halaman kecil penuh bunga. Seperti rumah noni-noni Belanda saja. Siapa orang berambut coklat itu?
"Sam, sepatu gue sekalian!"
"Sopan gitu ke yang lebih tua!?"
"Dih, gak sayang adik lo!"
"Ngaku-ngaku lagi! Mana sudi gue punya adik kayak lo!" Pria dengan kumis tipis berwarna coklat itu membungkuk, mengambil sepatu putihnya untuk dibawa masuk. Sebab gerimis mulai mengguyur pekarangan rumah.
Decihan sebal pun keluar dari mulut Gaby, ia terpaksa bangkit dari sofa empuknya. Mengambil sepatu supaya tak kehujanan. Saat berjalan masuk, mata Gaby mendelik saat melihat Sam memegang kunci motornya. "Woy, gantungan mahal itu! Jangan pegang-pegang!" Gaby menghampiri.
Namun, Sam langsung berdiri. Membuat Gaby tak mampu menggapai benda di tangan Sam itu. "Cuma gantung kunci doang, lebay lo." Dengan jahil, Sam meremas gantungan kunci berbentuk kelinci putih dengan bulu-bulu halus nan lebat.
Ratusan umpatan mengabsen di bibir Gaby saat dia berusaha merebut kunci motornya itu. "Asem! Balikin gak!"
"Lebay, lebay, gantungan kunci paling lima ribu aja lebay." Sam pun melemparkan benda itu ke sembarang arah, lantas duduk kempali dengan wajah tak berdosanya.
"Sembarangan! Produk asli Jepang itu! Oleh-oleh keluarga temen gue!" Gaby segera mengambil gantungan kuncinya.
Di luar, suara bising itu terdengar jelas, sebab pintu masih terbuka lebar. Telinga sensitif Rafa pun mendengarnya, dalam hati ia menahan tawa akan bualan Cantika yang malah diseriusi Gaby. Ya, dirinya tahu Cantika memberikan benda itu pada Gaby, karena hal itu terjadi atas kehendak Rafa sendiri.
Namun, sebenarnya tempat apa ini? Kenapa Gaby bersama seorang pria di tempat sesepi ini?
Hendak mengintip lebih dekat, tetapi cuaca tidak mendukung. Rafa pun memutuskan untuk mundur. Setidaknya ia tahu Gaby memiliki kegiatan tersembunyi di tempat ini.
Kembali ke tempat tadi, Rafa mendadak hilang arah. Bukan arah pulang, melainkan arah ke keberadaan kendaraannya. "Lah, motor gue?" Tak ada, motor kesayangannya mendadak hilang. Rafa celingukan ke sana ke mari, ia yakin betul telah menaruh motornya di antara pohon-pohon pisang di pinggir jalan berkerikil.
Rintik hujan mulai membasahi helm yang setia dipakainya. Rafa panik, ia pun mengecek ke seluruh pinggiran jalan. Mungkin ia salah menaruh motor, cukup banyak pohon pisang di sini.
Jantung Rafa berdegup tak karuan, hingga ia terkena serangan kejut saat mendengar suara siulan dari arah depan. Detik berikutnya, sekitar 6 pria berusia matang berdiri dari jongkoknya di pinggir jalan. "Ada tamu gak diundang, nih. Kayaknya bukan temen Sam, yah?" ucap pria berkulit coklat dengan tubuh kekar bak seorang binaragawan. "Ngapain ngumpet-ngumpet di sekitar rumah Sam?" Dia menggenggam erat parang di tangannya.
Mati sudah, Rafa mengangkat kedua tangannya. "Saya gak berniat bikin masalah apa-apa, bang." Sudah gila jika Rafa mau melawan pria bersenjata dengan tangan kosong. Dirinya bukan dukun kebal senjata.
"Terus ngapain ngumpet-ngumpet kayak tadi?" Seorang lainnya ikut berkata.
"A-anu saya .... sa-saya sebenernya suka sama cewe yang tinggal di rumah itu. Saya niatnya mau main, tapi pas liat ada laki-laki lain di rumahnya saya gak jadi main. Kayaknya dia udah punya pacar." Kebohongan kali ini benar-benar membuat kulit Rafa merinding geli.
"Maksudnya Neng Gabi?"
Anggukan cepat Rafa berikan, sebagai jawaban.
"Wajib diringkus ini, mah! Masa suka orang sampe ngintip-ngintip gitu!" Seorang yang tengan mencekal tali tambang maju. "Ayo kita tangkep! Bawa ke rumah Sam!"
"Bener! Kalau Neng Gabi diapa-apain dia malah bahaya!"
Beberapa orang mendekat, Rafa melawan dengan lihai. Pukulan sikunya bahkan membuat hidung para pria itu berdarah. Ia memberontak saat mereka mencoba mencekalnya, hanya saja ... parang itu tiba-tiba sudah di belakang lehernya. Membeku sejenak, Rafa tersungkur kala punggungnya dihantam bogeman pria bertubuh kekar.
Secepat kilat para pria yang telah ditumbangkannya berdiri menghampiri, mengunci pergerakan Rafa lantas mengikat kedua tangannya di belakang. Sedikit terkesan saat, Rafa sadar jika orang-orang kampung itu tahu cara bertarung, bukan sekedar menyerang asal-asalan.
Bak seorang tawanan, Rafa diseret menuju bangunan yang sebelumnya ia untit. Berjalan paksa dengan sebuah parang yang senantiasa teracung ke punggungnya. Berontak sedikit bisa jadi sundel bolong dirinya.
Hujan deras mulai mengguyur orang-orang itu, Rafa pun dengan pasrah bertekuk lutut saat sampai di depan pintu kayu yang membuka ditarik seseorang dari dalam. Rasanya ia ingin menghilang dari bumi saja.
~To Be Continued~
Cukup-cukup! Gue gak mampu nulias tiap hari😓 Dahlah, nih cerita mau gue jadiin latihan buat nulis aja, lagian -1 yang baca😇 yaudah, bye
ESTÁS LEYENDO
CATCH SESSION
De TodoKeinginannya hanya satu, menangkap pelaku pembunuhan adiknya. Dan ya, ia seorang pendendam, jika seseorang merebut miliknya, maka milik orang itu pun akan ia rebut. Mata dibalas kepala, nyawa dibalas neraka. Tak apalah meski dirinya harus pindah sek...
CATCH-5
Comenzar desde el principio
