••••
Pagi menjemput, saat rusuh suara alarm berbunyi mata gadis itu terbuka. Dengan sigap dia mematikan suara itu, dan langsung bangkit untuk bersiap-siap menimba ilmu di sekolah unggulan yang agak gelap itu.
Menaiki motor dengan tempelan plat nomor palsu yang sudah dicopotnya, Gabriella sampai di sekolahnya.
Gadis bersurai hitam itu turun dari motor, lantas meninggalkan parkiran dengan langkah cepat. Begitu cepat langkahnya hingga membuat kerutan heran di dahi orang-orang yang melihatnya. "Ckk! Harusnya tadi berak dulu di rumah!" Dengan lirih dia menggerutu.
Bahkan, perkara itu membuatnya tak sengaja menabrak seseorang yang keberadaannya terasa menghalngi jalan. "Aduh! Maaf!" Gabriella mengumpat dalam hati, ia tersenyum kikuk saat bersitatap dengan sosok berkacamata yang agak familiar. Namun, daripada kebanyakan mikir ia lebih memprioritaskan berak. Maka Gabriella berlarian kecil meninggalkan tempatnya.
Bocah yang ditabrak Gabriella pun hanya berkedip, ia menatap ke lantai, mendapati barang Gabriella terjatuh. Tanpa pikir panjang, bocah itu mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya. "Ceroboh," gumamnya.
••••
Bersiul semangat Rafa memainkan kunci motor di tanganya, dilempar lalu ditangkapnya kembali. Hingga sesampainya di parkiran sekolah dia mengulum senyumnya, padahal baru jam 12 siang, ternyata perempuan itu sudah mencari-cari barangnya yang hilang.
"Duh! Kok gak ada di motor sih?" Penuh kebingungan Gabriella menggaruk kepalanya. "Apa jatuh ya?" Bak pemulung, Gabriella mengorek seluruh sudut parkiran. Sudah bermenit-menit dia mengelilingi sekolah, ke setiap jalan yang dilaluinya pagi ini. Namun, tak satu tanda pun dia dapatkan.
Setidaknya sudah 30 menit Gabriella panik mencari barangnya. "Mana motor masih nyicil lagi!" Gabriella berjongkok di samping motornya. Menelusupkan kesepuluh jarinya di sela-sela rambut, berdenyut kepalanya. Wajah frustasi pun tak dapat disembunyikannya. "Sialan, lapor ke polisi aja kali ya?" gumamnya.
"Pftt!"
Terkejut, Gabriella menoleh ke seluruh penjuru mencari suara yang seolah-olah mengejeknya itu. Tidak mungkin ada setan berani menertawakan dirinya. Iris nan gelap Gabriella menangkap sosok itu, sosok dengan rambut lepek yang menatapnya melalui kacamata bulat ala ibu-ibu arisan.
"Cari ini?" Dengan baik hatinya Rafa menunjukkan kunci motor di tangannya. Berjalan mendekat dengan senyum manis, dia menyodorkaan benda itu pada sang pemilik. "Punya lo?" tanya Rafa.
Mematung, Gabriella terkejut saat melihat sosok yang kawannya benci setengah mati itu ternyata seramah ini. "I-iya, makasih." Diambil benda itu oleh Gabriella, dia mengamatinya sejenak, memang benar kunci motornya.
"Hmm, by the way kita satu kelas kan?" Basa-basi, Rafa mengulurkan tangan kanannya. "Gue Rafael."
Terlalu berani, bagaimana bisa bocah seculun itu bersikap begini pada seorang Gabriella. Jujur, mengejutkan, atau gara-gara waktu itu dirinya menolong bocah culun itu? "Gabriella, panggil aja Gaby." Ragu-ragu, tetapi Gabriella memilih menjabat balik lelaki itu.
'Hm? Jijik sama gue, yah? Wajar' batin Rafa. Senyum ramahnya berkurang, ia pun melepaskan jabatan tangan tersebut. "Yaudah gue ke kelas dulu, yah? Udah mau masuk."
"Eh? Emang udah selesai jam istirahatnya?"
Anggukan Rafa berikan sebagai jawaban.
"Duh, padahal belum makan apa-apa. Yaudah ke kelas aja, yuk." Meski masih lapar, aturan tetaplah aturan, dirinya harus segera masuk kelas. Tanpa basa-basi Gabriella mensejajar diri dengan lelaki itu.
YOU ARE READING
CATCH SESSION
RandomKeinginannya hanya satu, menangkap pelaku pembunuhan adiknya. Dan ya, ia seorang pendendam, jika seseorang merebut miliknya, maka milik orang itu pun akan ia rebut. Mata dibalas kepala, nyawa dibalas neraka. Tak apalah meski dirinya harus pindah sek...
CATCH-4
Start from the beginning
