Rafa pun hanya bisa keringat dingin. Tolong. Ia tak berniat membuat drama dengan mereka, bukan mereka targetnya.

Kala rambut Blonde itu sudah dilap menggunakan tisu, mata birunya menyorot ke dada Rafa, seolah sedang mengamati nametag Rafa tuk ditulis dalam daftar hitam. Tatapannya beralih menusuk dalam andangan Rafa, dan tanpa berucap apapun dia berbalik meninggalkan tempatnya.

Hening membius batin tiap manusia di sekitar.

Jasper pun mendekat pada Rafa, wajah galaknya disejajarkan dengan arah Rafa memandang. "Mau berapa kali lagi lo bikin masalah? Baiknya kalau mau ngerusuh jangan di sini. Paham?" peringatnya.

Bagai anak anjing yang patuh Rafa mengangguk segera. Lagian ia juga tak berniat dekat-dekat dengan para manusia sok berkuasa itu.

"Ini kali terakhir lo kita maafin," ujar Jasper. Lelaki itupun berbalik, pergi mengikuti si Blonde.

Rafa tiba-tiba terpikir akan sesuatu. Mereka siapa sebenernya? Tentu saja Rafa heran, tingkah para bocah itu seolah mereka penguasa sekolah, namun bukan tipe yang sok keras atau preman jalanan, hanya saja sedikit ... songong. "Apa satwa liar?" gumamnya dengan kepala miring.

••••

Waktu terus berjalan. 1 minggu lebih telah berlalu sejak Cantika menemui pria misterius yang mengancamnya itu.

"Gila, gila, gila, lama-lama gue gila beneran, ckk!" Cantika melempar ponselnya ke kasur. Kepalanya rasa ingin meledak, bagaimana tidak, pria misterius itu menyuruhnya mencatat kegiatan sehari-hari kawannya selama 24 jam, 7 hari.

Haruskah ia menginap di rumah kawannya itu? Tidak, tidak mungkin, yang ada dirinya yang dicurigai karena tak biasanya seperti itu. Pertemanannya dengan Gabriella tak sedekat itu.

Jalan satu-satunya hanyalah ... menguntit lagi.

Tak banyak basa-basi, Cantika langsung menggeledah lemarinya untuk mencari pakaian yang cocok. Tak lupa ia menggunakan masker yang sudah lama tak ia gunakan, masker yang biasa ia gunakan saat pergi membeli obat-obatan.

Seluruh perlengkapan ia masukan ke dalam saku jaket. Tepat pada pukul 7 malam, Cantika pergi menuju rumah Gabriella, menaiki mobil pribadinya. Cantika masih ingat betul lokasi rumah Gabriella, ia pernah ke sana beberapa kali, saat ia mengikuti Gabriella pulang sekolah.

Sejujurnya ia tak perlu se-effort ini, anak pintar seperti Gabriella malam-malam begini pasti sedang belajar. Seperti sebelum-sebelumnya. Namun, tanpa data, kepalanya pasti hanya akan ditempeleng pria misterius itu.

••••

Hanya butuh waktu 20 menit hingga Cantika sampai di komplek rumah Gabriella berdiri.

Ia memarkirkan mobilnya beberapa meter dari rumah Gabriella. Seingatnya, Gabriella tinggal di rumah neneknya. Rumah yang ternyata lebih sederhana dibanding ekspektasinya.

Sesampainya di depan rumah Gabriella, Cantika berjalan mengendap-endap. Ia berdiri memegang erat besi gerbang rumah itu, hendak menaiki besi penghalang tersebut. Biasanya jika malam memang sudah dikunci.

Pintu rumah kendadak berderit. Membuat Cantika panik, ia pun batal naik gerbang. Gadis itu terbirit-birit kabur ke samping rumah Gabriella. Berjongkok dengan punggung menempel pada pagar beton.

Sejenak ia mengintip saat mendengar derap langkah kaki yang terasa lambat.

Di bawah penerangan lampu yang minim, gadis berjaket hitam dengan helm full face nampak tengah membuka gerbang. Setelahnya gadis itu menuntun keluar sebuah motor besar dari bagasi.

CATCH SESSIONWhere stories live. Discover now