“LU NGAPAIN, ANJING?!” bentak Flora dengan suara bergetar, bukan hanya oleh marah, tapi juga kecewa.
“K-Kak, gue—”
“LU TEGA YA, BANGSAT?!” suara Flora meninggi, nyaris histeris. “LU TAU GIMANA KEADAAN ANDRA SEKARANG?!”
“GUE BUTUH DUIT!!”
Marsha membalas, suara itu lebih meledak dari yang ia kira. Suatu letupan dari dada yang penuh tekanan.
Ia mengulangnya, kini dengan suara lirih, nyaris serak, “Gue... butuh duit, Kak... Gue juga nggak mau gini. Tapi gue nggak tahu harus gimana lagi...”
Ceklek.
Suara gagang pintu kamar mandi berputar.
Seorang pria paruh baya keluar dengan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. Rambutnya masih basah, dan ia menatap ketiganya dengan bingung dan ketakutan.
“A-Apa-apaan ini?!”
Bagas melangkah cepat, menahan dada pria itu dengan satu tangan. Sorot matanya dingin.
“Diem dulu, om. Ini bukan urusan lu.”
“Apa maksudnya?! Saya udah bay—”
PLAK!
Satu lagi suara tamparan, Bagas menoleh cepat.
Marsha memegangi pipinya sendiri. Kepalanya tertunduk dalam.
Flora menggigil. Tubuhnya gemetar menahan gejolak emosi yang tak tertahan.
“Lu... nggak tau diri, Sha,” ucapnya pelan tapi tajam, seolah kata-katanya bisa mengiris.
Ia menunjuk Bagas, “Lu lupa siapa yang kasih lu jalan masuk ke kafe? Siapa yang bujuk owner biar lu diterima kerja? Padahal lu nggak punya pengalaman, nggak punya apa-apa selain keberanian nyoba.”
Tangan Flora mengepal, wajahnya tegang, “Kalo lu butuh duit urgent, kenapa nggak bilang? Kita temen, Sha. Lu pacarnya Andra. Tapi lu malah... milih cara ini? Lu pikir ini satu-satunya jalan?”
Ia mendorong bahu Marsha, membuat gadis itu semakin terpuruk dalam selimut.
“GUE NGGAK TERIMA LU GINIIN ANDRA, YA ANJING!” suara Flora pecah. Matanya kini berkaca-kaca.
“DIA TEMEN GUE! KITA BERJUANG BARENG-BARENG DARI BAWAH! LU TAU GIMANA DIA PERJUANGIN LU?! DAN SEKARANG SEGAMPANG INI LU HANCURIN DIA?!”
Marsha menggigit bibir bawahnya, matanya mulai basah. Tangannya gemetar saat ia mencoba menjawab.
“Gue... gue harus apa, Kak...?” suaranya nyaris putus. “Gue minta maaf...”
Air mata akhirnya tumpah. Pipi yang tadi ditampar, kini dibasahi kesedihan. Wajahnya merah, tak hanya karena tamparan, tapi juga karena malu, karena bingung, karena hancur.
Flora menengadah, menarik napas panjang, berusaha menelan semua emosi yang menyesak di tenggorokan. Lalu berkata dengan suara lebih pelan namun tegas:
“Lu ikut ke kafe sekarang. Minta maaf ke Andra.”
Marsha tak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil terus terisak.
Ia buru-buru mengenakan celana dan kemejanya, tak peduli kancingnya berantakan, tak peduli rambutnya awut-awutan. Lalu berlari keluar kamar.
Flora menyusul, masih menggenggam amarah yang belum reda.
Bagas menghela napas. Ia memungut tas kecil Marsha dari lantai, lalu berbalik hendak keluar juga—
“Hey!” seru pria paruh baya itu dari belakang. “Terus saya gimana?! Saya udah bayar!”
Bagas menoleh. Wajahnya datar, jijik.
YOU ARE READING
No Strings Attached? [End]
FanfictionDi suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan. Namun, kee...
![No Strings Attached? [End]](https://img.wattpad.com/cover/388959992-64-k305939.jpg)