Malam itu, Andra masih sibuk menjalani sisa shiftnya di kafe tempat ia bekerja. Apron barista berwarna hitam tergantung di lehernya, sudah sedikit beraroma kopi setelah seharian menangani berbagai pesanan pelanggan. Ia berdiri di belakang mesin espresso, memperhatikan aliran kopi pekat yang menetes perlahan ke dalam cangkir kecil. Aroma pahit khas espresso menguar di udara, bercampur dengan wangi susu dan karamel dari minuman lain yang sedang dibuat rekan-rekannya.
Setelah memastikan hasil seduhan sudah sempurna, Andra mengambil cangkir itu dan menyerahkannya kepada seorang waitress yang tengah menunggu di dekat counter.
"Ini, Kath. Espresso satu," ucapnya sambil meletakkan cangkir di nampan.
Kathrin, rekan kerjanya yang bertugas sebagai server, mengangguk cepat. "Oke, Kak. Thanks," balasnya sebelum berbalik dan melangkah menuju meja pelanggan.
Andra mengusap tengkuknya, merasa sedikit pegal setelah berdiri terlalu lama. Matanya menyapu sekeliling kafe yang sudah mulai sepi. Hanya tinggal beberapa pelanggan yang masih bertahan, tenggelam dalam buku atau laptop mereka. Momen-momen seperti ini yang paling ia suka—saat kafe tidak terlalu ramai, dan ia bisa sedikit bernapas lega.
Merasa butuh udara segar, Andra memutuskan untuk keluar sejenak.
Begitu mendorong pintu belakang kafe, udara malam yang dingin langsung menyambutnya. Di luar, di area belakang yang biasa digunakan karyawan untuk istirahat, seorang pria jangkung sedang bersandar santai di tembok, sebatang rokok terselip di bibirnya. Rambut panjangnya diikat ke belakang dengan bando kain, memberi kesan ala abang-abangan gondrong yang terlihat terlalu chill untuk peduli pada dunia.
Andra menyeringai kecil. "Bang, minta sebatang dong," katanya, menghampiri pria itu.
Bagas—seniornya di tempat kerja—melirik sekilas sebelum menyodorkan bungkus rokok tanpa banyak tanya. "Nih," katanya dengan nada malas.
Andra menarik satu batang, menyulutnya dengan korek yang ia ambil dari saku celana. Tarikan pertama terasa ringan, asapnya tipis mengepul ke udara malam. Ia bersandar ke dinding, menikmati sejenak ketenangan yang jarang ia dapat di jam-jam sibuk.
"Jadi, kuliahnya gimana, Ndra?" tanya Bagas, suaranya tenang, khas orang yang sudah terlalu lama menghadapi dunia tanpa ekspektasi berlebih.
"Aman, Bang," jawab Andra santai. "Lo sendiri? Gimana skripsinya?"
Bagas terkekeh, mengembuskan asap perlahan. "Ya gitu deh… banyak revisi. Dosen pembimbing gue kayaknya hobi banget bikin hidup mahasiswa susah."
Andra ikut tertawa kecil. "Semangat, Bang. Kalo lulus, jangan lupa traktir."
Bagas mendengus. "Ck, iye, iye… lo nyari traktiran doang, dasar anak kos," balasnya, setengah bercanda.
Andra hanya menyeringai tanpa membantah.
Mereka berdua pun larut dalam keheningan yang nyaman, menikmati rokok mereka sambil memandangi langit malam yang tak berbintang. Tak ada obrolan berlebihan, hanya dua pria yang menghabiskan sisa jam kerja mereka dengan cara paling sederhana—sebatang rokok, udara malam, dan kelelahan yang mereka bagi tanpa perlu banyak kata.
...
Setelah pelanggan terakhir melangkah keluar dan pintu kafe akhirnya dikunci, suasana langsung berubah lebih santai. Tak ada lagi suara mesin kopi yang berdengung atau pelanggan yang bolak-balik memesan. Kini, hanya tersisa mereka—para staf yang harus membereskan sisa-sisa kerja sebelum bisa benar-benar pulang.
Bagas mengambil sapu dan mulai membersihkan lantai, menyapu remah-remah roti yang tersisa di bawah meja. Kathrin sibuk dengan lap basah di tangannya, mengelap setiap meja hingga mengilap. Sementara itu, Andra berdiri di belakang counter, merapikan toples-toples berisi biji kopi ke dalam laci, memastikan semuanya tersusun rapi seperti seharusnya.
ESTÁS LEYENDO
No Strings Attached? [End]
FanfictionDi suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan. Namun, kee...
![No Strings Attached? [End]](https://img.wattpad.com/cover/388959992-64-k305939.jpg)