11

3.1K 206 10
                                        

Pagi itu, cahaya matahari yang menyelinap dari celah jendela membelai wajah Marsha yang masih terlelap dalam dekapan Andra.

Andra sudah terjaga lebih dulu, tetapi ia tetap diam, membiarkan gadis itu menikmati tidurnya. Jemarinya dengan lembut menyibak helaian rambut yang jatuh menutupi pipi Marsha, lalu perlahan turun, menyusuri punggungnya yang masih menyimpan kehangatan semalam.

Marsha mengerang pelan dalam tidurnya, lalu kelopak matanya mulai bergetar sebelum terbuka sepenuhnya. Dalam keadaan setengah sadar, hal pertama yang ia lakukan adalah—

Cup.

Sebuah kecupan mendarat singkat di bibir Andra, begitu ringan namun terasa begitu manis.

Andra mengernyit kaget. “Tiba-tiba banget?”

Marsha tersenyum, matanya masih redup oleh kantuk. “Lo ganteng banget, Kak.”

Andra mendengus geli. “Godain nih?” Jemarinya masih bermain di punggung Marsha, mengusapnya dengan gerakan lembut yang seakan tak ingin berhenti.

“Emang nggak boleh?” Gadis itu menggeliat kecil, menempelkan dirinya lebih erat, menikmati kehangatan pria di hadapannya.

Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hingga Marsha kembali bersuara, suaranya terdengar sedikit lebih pelan.

“Malam ini, gue harus pulang, Kak.” Ujung jarinya menggambar sesuatu yang abstrak di dada Andra, seperti kebiasaan kecilnya saat sedang bermanja.

Andra menghela napas. “Yaudah pulang aja.”

Marsha merengut, mengerucutkan bibirnya. “Pura-pura sedih kek.”

Andra hanya terkekeh. “Halah, paling besok lo balik lagi ke sini.”

Marsha tertawa kecil, menyembunyikan wajahnya di dada Andra. “Ketahuan deh...”

Andra menggeleng pelan, lalu kembali membelai rambut gadis itu. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa... aneh.

Ia tak pernah mempermasalahkan Marsha datang dan pergi sesuka hati. Itu sudah biasa, bukan? Tapi kenapa kali ini, saat gadis itu mengatakan akan pulang, ada sesuatu yang menusuk perasaannya?

Sebuah ketakutan.

Tangan Andra naik, menyentuh wajah Marsha, mengusap bibirnya dengan ibu jarinya, memperhatikan gadis itu dengan sorot mata yang lebih dalam dari biasanya.

Marsha mendongak, menatap Andra balik. Tatapan itu... seakan menahan sesuatu. Namun, sebelum kata-kata bisa terucap, Marsha lebih dulu berbisik, suaranya nyaris seperti hembusan angin.

“Puasin dulu, Kak, sebelum gue pergi.”

Andra merasakan dadanya mencengkeram sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang selama ini tak pernah ia akui.

Ia tak menjawab. Tak ingin menjawab.

Sebaliknya, ia menarik Marsha mendekat, menyapu bibir gadis itu dengan miliknya, perlahan namun menuntut. Seolah memastikan bahwa keberadaannya masih di sini, masih dalam genggamannya.

Mmmhh...”

Marsha membalas ciuman itu tanpa ragu, tenggelam dalam sentuhan pria yang entah sejak kapan mulai menjadi dunianya.

“Mwah... hhh...”

Ciuman mereka tak terburu-buru, tapi sarat makna. Seakan masing-masing ingin merekam setiap detik, seakan tak ingin melupakan apa pun.

Namun tetap saja—

Perasaan mereka masih sama.

Tak terungkapkan.

No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now