04

4.9K 204 5
                                        

Setelah derasnya gelombang gairah mereda, kamar itu kembali sunyi, hanya diiringi suara napas mereka yang masih berat. Cahaya lampu temaram memantulkan bayangan tubuh yang masih telanjang di atas ranjang sempit. 

Andra menyandarkan punggungnya pada headboard, satu tangan memegang rokok yang belum ia nyalakan. Sementara itu, Marsha berbaring di sampingnya, tubuhnya masih basah oleh peluh, napasnya pelan tapi belum sepenuhnya stabil. 

Gadis itu tersenyum kecil, matanya menatap ke arah Andra dengan tatapan jahil. "Makin jago aja lo, Kak," godanya, suaranya terdengar serak karena kelelahan. 

Andra menoleh sekilas, mengangkat sebelah alis. "Sejauh ini, udah dapet berapa pelanggan?" tanyanya santai. 

Marsha terkekeh. "Baru dua," ia menjawab, lalu dengan nada menggoda menambahkan, "dan dua-duanya lo, Kak." 

Andra menghela napas, melemparkan senyum miring. "Pantes masih kaku banget. Harusnya sesekali lo yang mimpin main," ujarnya, nada suaranya terdengar setengah menggoda, setengah menilai. 

Marsha mendengus, lalu menepuk pelan dada Andra dengan punggung tangannya. "Kaku, tapi enak kan? Buktinya lo ketagihan," ucapnya penuh percaya diri. "Dua hari berturut-turut main sama gue." 

Andra tertawa kecil, menggeleng pelan. "Dasar." 

Tanpa peringatan, Marsha menggeser tubuhnya lebih dekat, merangkul pinggang Andra, menempelkan wajahnya pada dada pria itu. Tubuhnya terasa hangat, sedikit lengket, tapi tetap nyaman. 

Andra menatap gadis itu dengan sedikit heran. "Kenapa tiba-tiba gini?" tanyanya. 

Marsha tidak menjawab langsung. Ia hanya menghela napas panjang sebelum berkata, "Nggak papa, anggap aja bonus." 

Hening sejenak. Andra menatap rambut hitam gadis itu, lalu tanpa sadar tangannya terangkat, mulai mengusap lembut kepalanya. Sentuhan itu spontan, tanpa rencana, tapi entah kenapa terasa natural. 

"Lo tidur di sini aja ya, Kak," gumam Marsha, suaranya terdengar semakin pelan, tanda kantuk mulai menyerangnya. "Temenin gue." 

Andra menghela napas pelan, menatap langit-langit kamar. "Iya, iya," jawabnya akhirnya, membiarkan tubuh gadis itu tetap bersandar padanya. 

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, keduanya tidur tanpa jarak di antara mereka.

...

Sinar matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah tirai kamar motel yang usang, menorehkan cahaya lembut di dinding. Andra mengerjapkan mata perlahan, kesadarannya kembali seiring dengan hembusan napas tenang yang terasa di dadanya.

Hal pertama yang ia lihat adalah Marsha, masih meringkuk dalam dekapannya. Gadis itu tertidur lelap, wajahnya terlihat damai, rambut hitamnya terurai berantakan di atas bantal. Dalam diam, Andra mengamati fitur wajahnya—garis rahangnya yang halus, kelopak matanya yang sedikit bergerak seakan sedang bermimpi, dan bibirnya yang sedikit mengerucut.

Cantik.

Andra tersenyum tipis sebelum akhirnya berbisik, "Sha," panggilnya pelan. "Udah pagi." Ia mencoba menggoyangkan tubuh gadis itu dengan lembut. 

Namun, Marsha hanya menggeliat kecil di dalam dekapannya, menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. "Mmm..." 

Andra tersenyum geli. Gadis ini benar-benar malas bangun. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri ada rasa gemas yang perlahan menggelitik hatinya. "Hey, lo ada kelas nggak hari ini?" tanyanya lagi, berharap itu bisa membangunkan Marsha. 

Akhirnya, setelah beberapa detik, Marsha mulai bergerak. Ia mengusap matanya dengan malas dan bergumam, "Nggak ada..." Sambil menguap kecil, ia pun duduk. 

No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now