01

6.8K 205 5
                                        

Dini hari itu, di sebuah kamar motel yang temaram, aroma asap rokok dan parfum murahan masih mengambang di udara.

Andra duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih setengah telanjang, dengan helaian rambut hitam yang sedikit berantakan. Cahaya lampu kuning redup dari meja di samping ranjang menerangi wajahnya yang tampak lelah. Ia mengusap tengkuknya, lalu melirik ke arah bercak merah samar yang mengotori seprai putih di bawahnya. Matanya kemudian beralih pada sosok gadis di ranjang, yang masih terbungkus selimut tipis hingga sebatas dada.

Marsha.

Gadis itu masih berbaring miring, kepalanya bersandar pada lengannya sendiri. Rambut panjangnya terurai, sebagian jatuh ke wajahnya. Matanya setengah terpejam, tapi ada seulas senyum tipis di bibirnya, seolah ia sudah terbiasa dengan momen seperti ini.

Andra menarik napas, lalu akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar.

"Ini pertama kali buat lo?"

Sejenak, Marsha hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Kemudian, dengan nada ringan, ia menjawab, "Iya."

Satu kata, tanpa penjelasan tambahan.

Andra mengernyit, sedikit heran. "Kenapa lo sampai mau begini?"

Marsha menoleh sepenuhnya kali ini, tatapannya tenang. Ia tidak tampak ragu, tidak juga terpengaruh oleh pertanyaan itu. Ia hanya tersenyum kecil sebelum menjawab, "Bukan urusan lo." Kemudian ia mengangkat tangannya, menadahkan telapak tangan di hadapan Andra. "Yang penting sekarang lo harus bayar."

Andra menghela napas panjang. Ia tahu sejak awal ini bukan urusannya, tapi tetap saja, ada rasa aneh yang mengganjal di hatinya. Tanpa banyak bicara lagi, ia merogoh tas di lantai, menarik dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Dengan sedikit enggan, ia menyerahkannya pada Marsha.

Marsha bangkit perlahan, membiarkan selimut jatuh sedikit dari bahunya. Ia mengambil uang itu dan mulai menghitungnya satu per satu. Namun, dahinya berkerut saat menyadari jumlahnya.

"Ini... lebih banyak dari yang kita sepakati," ucapnya, menatap Andra dengan mata curiga.

Andra hanya mengangkat bahu sambil mulai mengenakan kembali bajunya. "Ambil aja. Kerja di bidang ini nggak gampang, kan?"

Marsha menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, lebih seperti seseorang yang merasa sedikit geli dengan situasi ini.

"Hey, lo nggak baper sama gue, kan?" katanya, masih dengan nada bercanda. "Ingat, no strings attached."

Andra tersenyum tipis, memasukkan dompetnya kembali ke dalam tas, lalu mengangkat tas itu ke pundaknya. "Ya nggak lah, gue juga ngerti."

Ia melangkah menuju pintu, tangannya sudah di gagang pintu saat ia melirik Marsha sekali lagi.

"Gue duluan. Good luck, cewek jembatan."

Marsha hanya mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh pelan.

"Lo juga, cowok kacamata."

Dan dengan itu, Andra membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan kamar motel yang kini terasa semakin sunyi.

...

Pagi itu, kehidupan kembali berjalan seperti biasa bagi Andra. Tidak ada jejak malam sebelumnya di wajahnya—tidak ada kantuk, tidak ada raut lelah, tidak ada beban yang tampak mengganggu pikirannya. Ia hanya seorang mahasiswa semester lima yang menjalani rutinitasnya.

Hari dimulai dengan kelas pagi yang cukup padat. Andra duduk di barisan tengah, memperhatikan dosen yang menerangkan materi dengan suara monoton. Sesekali, ia mencatat poin-poin penting di buku catatannya, meskipun pikirannya tak sepenuhnya fokus. Sesekali, matanya melirik ke luar jendela, menikmati cahaya matahari yang mulai menghangatkan lingkungan kampus.

Setelah kelas berakhir, ia bergabung dengan beberapa teman sekelasnya di kantin. Obrolan mereka ringan—tentang tugas yang menumpuk, dosen yang terlalu perfeksionis, atau sekadar membahas pertandingan bola semalam. Andra tidak banyak bicara, lebih sering menjadi pendengar sambil menyeruput kopi hitamnya.

Namun, ada satu kebiasaan yang selalu ia lakukan di sela-sela jadwal kuliahnya: pergi ke perpustakaan. Bukan hanya untuk mengerjakan tugas, tetapi juga karena ia menyukai ketenangan yang ditawarkan tempat itu. Deretan rak buku, aroma khas kertas lama, serta suara halus lembaran halaman yang dibalik, semuanya memberikan rasa nyaman tersendiri baginya.

Di salah satu sudut perpustakaan, Andra membuka laptopnya, mengetik beberapa paragraf untuk tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Sesekali, ia menghela napas, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Namun, pikirannya sesekali melayang, kembali ke malam sebelumnya—ke kamar motel yang remang, ke percakapan singkat dengan sang gadis, dan ke cara gadis itu tersenyum sebelum ia pergi.

Namun, seperti kebiasaannya, ia dengan cepat mengalihkan pikirannya kembali ke layar laptop. Malam itu sudah berlalu. Sekarang, yang ada di hadapannya hanyalah tugas, referensi, dan hari yang masih panjang untuk dijalani.

...

Sudah dua jam Andra duduk diam di perpustakaan, tenggelam dalam tugas dan referensi yang semakin lama semakin membosankan. Namun, kini pikirannya teralihkan oleh sesuatu yang lebih mendesak—rasa lapar yang mulai merengek dari perutnya.

Ia menutup laptopnya, meregangkan tubuh sejenak, lalu mulai membereskan barang-barangnya. Buku-buku ia tumpuk rapi di meja, memasukkan laptop ke dalam tas, dan dengan sekali hentakan, ia mengayunkannya ke pundak. Saat melangkah keluar dari perpustakaan, cahaya matahari siang menyambutnya, membuat matanya sedikit menyipit.

Tujuan berikutnya jelas: kantin.

Seperti biasa, kantin kampus dipenuhi hiruk-pikuk mahasiswa yang berjejal di kursi-kursi, menikmati makan siang sambil bercanda dengan teman-teman mereka. Aroma berbagai macam makanan menguar di udara—gorengan, nasi padang, mi ayam, dan kopi susu yang dicampur es batu, menciptakan simfoni khas kantin yang selalu ramai di jam makan siang.

Andra berjalan perlahan, melewati jejeran stand makanan yang berjajar rapi. Matanya menyapu ke papan menu yang tergantung di setiap stand, mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya yang mulai keroncongan.

Namun, langkahnya terhenti mendadak.

Di antara kerumunan mahasiswa yang sibuk memilih makanan, ada sosok yang begitu familiar baginya.

Gadis itu berdiri di depan salah satu stand, tampak sedang memperhatikan menu yang terpajang. Rambut hitam panjangnya tergerai bebas, berkilauan di bawah cahaya siang. Kulitnya masih seputih yang ia ingat, dan meski ia hanya mengenakan pakaian kasual—jeans dan kaus longgar—auranya tetap sama seperti tadi malam.

Andra menatapnya dengan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Cewek jembatan?"

Marsha, yang awalnya fokus membaca menu, seketika menoleh. Matanya membelalak saat mengenali Andra.

"C-cowok kacamata?"

Keduanya kini terpaku di tempat, saling menatap dalam diam. Seperti dua orang yang tertangkap basah, padahal tidak ada yang salah dengan pertemuan ini—hanya saja, tidak ada yang menyangka mereka akan bertemu lagi.

Andra tidak tahu harus berkata apa, begitu pun gadis itu.

Di tengah hiruk-pikuk kantin, di antara suara piring beradu dan mahasiswa yang bercengkerama, dunia seolah berhenti sejenak hanya untuk mereka berdua.

Bersambung

btw, cerita ini satu universe sm strange feelings :)

No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now