16

3.9K 225 27
                                        

Malam telah datang, menyelimuti vila dengan keheningan yang menenangkan. Tapi di dalam kamar Andra, suasananya justru bertolak belakang.

Udara terasa berat.

Napas mereka masih terengah-engah, menggantung di udara yang bercampur aroma parfum samar milik Marsha dan jejak gairah yang tertahan.

Mereka hampir saja kehilangan kendali.

Hampir.

Tapi nasib berkata lain.

TOK TOK TOK

"Andraa~ ayo main~"

Suara Bagas dari luar pintu sontak membuat keduanya membeku.

Lalu—

BRUK!

"Uffhh—!"

Marsha, yang tadinya duduk di pangkuan Andra dengan tubuh hampir telanjang, kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh ke lantai, buru-buru merangkak ke ranjang, dan menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya.

Sementara itu, Andra panik. Napasnya masih memburu, otaknya berusaha mencerna situasi, matanya liar mencari cara agar tidak tampak seperti pria yang baru saja hampir melahap adik tingkatnya hidup-hidup.

Dari balik pintu, suara Bagas terdengar lagi. "Ngapain tuh di dalem?"

Andra buru-buru menarik napas dalam, menenangkan diri sebisanya, lalu melangkah ke pintu dan membukanya sedikit.

Tapi kesalahan besar.

Bagas menatapnya dari ujung kepala sampai kaki. Lalu mendengus. "Lo kenapa kayak abis dibegal?"

Andra mengerjapkan mata. "Hah?"

Baru saat itu ia sadar—kaosnya miring, rambutnya berantakan, bibirnya merah, dan napasnya masih belum stabil.

Sial.

"Gue... habis beres-beres," jawabnya cepat.

Bagas makin menyipitkan mata. "Oh ya? Terus kenapa lo kelihatan kayak abis ngebersihin dosa?"

Andra meringis dalam hati. Kena lagi.

"Halah, udah deh. Lo mau apa?"

Bagas melipat tangan. "Turun. Kita game night."

"Oke, bentar gue siap-siap dulu," sahut Andra cepat, berharap Bagas segera pergi sebelum dia menangkap sesuatu yang tidak seharusnya terlihat.

"Hm. Yaudah, gue duluan."

Begitu langkah kaki Bagas mulai menjauh di tangga, Andra langsung menarik napas panjang, menyandarkan tubuh ke pintu, berusaha meredakan sisa-sisa ketegangan.

Tapi masalahnya belum selesai.

Selimut di ranjang bergerak.

Lalu muncul kepala Marsha—dengan pipinya merona, matanya berbinar, dan bibirnya masih lembap bekas ciuman panas mereka tadi.

"Aman?" bisiknya.

Andra melirik, lalu mengangguk. "Aman."

Marsha mengembuskan napas lega, lalu dengan santainya mendorong selimut ke samping.

Dan saat itu juga, Andra ingin mencabut kata "aman" barusan.

Marsha masih nyaris telanjang.

Bra-nya sudah entah ke mana. Celana dalamnya masih melorot di sekitar lutut. Dan... di antara pahanya yang terbuka lebar, ada jejak basah yang jelas terlihat di kain tipis itu.

Andra meneguk ludah. Matanya refleks menelusuri tubuh gadis itu—kulit putihnya yang merona, dadanya yang naik turun, perutnya yang sedikit mengencang, dan paha mulusnya yang masih dipenuhi bekas jemari tadi.

No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now