18

2.7K 165 20
                                        

Dua hari telah berlalu sejak liburan penuh tawa (dan erangan mesra) di vila. Kini roda kehidupan mereka kembali berputar di jalur semula—di balik mesin espresso yang mendesis dan oven pastry yang bergemuruh, kehidupan sebagai kru kafe berjalan seperti biasa.

Namun, ada satu hal baru yang langsung terasa sejak hari pertama kembali bekerja: gumaman manja dan kecupan-kecupan curi kesempatan yang menyelinap di antara aroma kopi dan adonan roti mengembang.

Seperti malam ini.

Langit mendung dan udara sedikit gerimis membuat kafe tak seramai biasanya. Hanya segelintir mahasiswa dengan headphone dan laptop, tenggelam dalam deadline tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya.

Di dapur, suasananya justru jauh lebih hangat.

Marsha berdiri di depan meja stainless steel, kedua tangannya sibuk memijat adonan sourdough yang kenyal, lengannya menggeliat, pinggulnya ikut bergerak pelan mengikuti tekanan tangannya pada adonan.

Dan tepat di belakangnya, Andra—yang entah sudah berapa lama berdiri di sana—memeluknya dari belakang, dagunya bertengger di bahu Marsha, nafasnya membelai lembut kulit leher kekasihnya.

"Beb, jangan ganggu ih..." Marsha menggerutu dengan suara merengek, meski tak sedikit pun berusaha kabur dari pelukan itu. "Nggak beres-beres nih adonannya..."

"Hmm... justru itu alasannya aku gangguin," bisik Andra, sebelum mencolek sedikit tepung dari meja dan mengoleskannya di pipi Marsha.

"Huh!" Marsha menoleh sejenak, cemberut, "Nanti muka aku kayak donat."

"Donat favoritku," bisik Andra sambil mengecup cepat pipinya.

Satu tangan Andra merayap pelan, melewati apron dan baju, lalu berhenti di dada Marsha—meremas lembut, nakal.

"Jadi kamu nyuruh aku mending pergi aja gitu?" bisiknya penuh nada menggoda.

Marsha menggigit bibir, matanya melirik ke sekitar. "Ya enggak gitu... cuma jangan... usil dulu tangannya..." katanya sambil berusaha tetap mengaduk adonan yang kini teksturnya mulai kacau.

Dua pasang mata mengawasi mereka dari luar kitchen, dari balik kaca kecil di pintu dapur.

"Kak," bisik Kathrin, memiringkan tubuhnya agar Flora bisa melihat. "Yang kayak gini tuh harusnya udah bisa kena sanksi nggak sih?"

"Sanksi cabul sih minimal," desis Flora, alisnya menyatu. "Dan visualnya... menjijikkan. Udah kayak adegan softcore yang nggak kita minta."

Kathrin mengangguk mantap. Lalu menoleh ke arah kasir, tempat Bagas duduk sambil bersandar santai, earphone separuh masuk di telinganya, tangannya asyik scroll TikTok.

"Bang, lu nggak mau omelin mereka berdua tuh?" tanya Flora sambil menunjuk dengan dagu.

Bagas cuma mengangkat bahu tanpa menoleh. "Selama mereka ngerespon kalau ada customer, bodo amat."

"Apalah..." keluh Flora. "Tinggal nunggu mereka manggang adonan sambil ML aja tuh lama-lama..."

Baru juga dia selesai menggerutu, tiba-tiba ada tangan menyelinap ke bawah apronnya.

Kathrin berdiri di belakangnya, tangan kanan masih bertengger di dada Flora, ekspresi sok serius seolah sedang melakukan eksperimen ilmiah.

"...Singkirin tangan lu. Sekarang." suara Flora pelan tapi mengancam.

"Ssst, bentar... gue lagi recreate adegan kak Andra dan Marsha versi lesbi—"

PLAK!

Suara tamparan menggema, membuat seorang mahasiswa di ujung ruangan menoleh sekilas.

No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now