Dua minggu telah berlalu, dan dalam waktu yang terasa singkat itu, Marsha semakin sering mampir ke kosan Andra. Awalnya hanya sekadar berkunjung, lalu makan bersama, hingga akhirnya mulai menginap beberapa kali.
Rutinitas itu kini terasa semakin alami. Andra sudah terbiasa melihat Marsha berseliweran di kamarnya—kadang duduk di lantai sambil memainkan ponselnya, kadang merebah malas di tempat tidur sambil mengeluh bosan, atau bahkan sibuk memilih baju Andra hanya untuk dipakai sendiri. Marsha pun sudah nyaman dengan kehangatan sederhana di kosan Andra—bau kopi di pagi hari, suara sendok yang beradu dengan panci saat Andra memasak, dan tentu saja, sentuhan pria itu yang selalu mengambil haknya sebagai ‘tuan rumah.’
Sebagai ucapan terima kasih atas makanan gratis yang selalu ia nikmati, Marsha tak pernah lupa memberikan ‘hadiah’ untuk Andra. Sentuhan, canda godaan, dan kehangatan yang hanya mereka berdua pahami. Semuanya terasa begitu mudah, begitu menyenangkan—seolah hubungan mereka telah mencapai keseimbangan sempurna tanpa perlu embel-embel perasaan.
Namun seiring berjalannya waktu, sesuatu perlahan mulai tumbuh di dalam hati mereka. Sesuatu yang tak mereka akui, namun diam-diam mengusik setiap kali mereka saling menatap lebih lama dari seharusnya. Setiap kali mereka berpisah, ada jeda aneh yang tertinggal di dada.
Namun untuk saat ini, mereka memilih untuk tetap seperti ini—terjebak dalam kenyamanan yang mereka ciptakan sendiri, tanpa berani bertanya… Apakah ini benar-benar hanya ‘no strings attached’?
Hari itu pun Marsha sedang menetap di kos Andra. Seperti biasanya, kos kecil itu jadi tempat pelarian favoritnya. Andra duduk di atas ranjang, terpaku pada laptop, sibuk mengerjakan tugas kuliahnya yang menumpuk. Marsha baru saja keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk yang melilit tubuhnya.
“Kakak,” panggil Marsha dengan nada ceria. “Mens gue udah selesai, lho.”
Andra tidak menoleh sedikit pun. “Terus?” jawabnya datar.
Marsha menyeringai kecil, matanya berkilat-kilat nakal. Ia melangkah mendekati Andra, lalu bersandar di bahunya. “Ya… siapa tahu mau langsung order gitu.”
Andra mendengus, masih fokus pada layar laptopnya. “Nggak dulu, lagi seret duit gue.”
“Hmph, pelit…” Marsha pura-pura cemberut, tapi bukannya menjauh, ia malah semakin mendekat, melingkarkan lengannya pada pria itu. Tubuhnya kini setengah bersandar pada Andra, membuatnya sedikit kesulitan mengetik.
“Lo ngapain sih, Sha?” tanya Andra sambil menggeser bahu, mencoba menyingkirkan gadis itu tanpa hasil.
“Ngapa-ngapain aja deh,” jawab Marsha sambil tersenyum manis. Matanya melirik ke layar laptop. “Lo ngerjain apa sih?”
“Tugas,” jawab Andra singkat, lalu tanpa sadar ia melanjutkan, “Eh, lo udah dapet materi sosiologi komunikasi kan?”
“Udah.”
“Nah, menurut lo, teori—” Dan seperti keran yang dibuka penuh, Andra mulai berceloteh panjang lebar tentang teori-teori sosiologi komunikasi, efek hubungan antar individu terhadap pola komunikasi, hingga bagaimana kelompok sosial memengaruhi interpretasi pesan.
Marsha tampak serius mendengarkan, mengangguk-angguk kecil sambil menyahut, “Hmm… Heem…” dengan nada seolah paham. Tapi kenyataannya, pikirannya sudah melayang ke tempat lain. Tangannya bahkan mulai bergerak—meraba-raba lengan Andra, lalu bahunya, turun ke dadanya.
Andra, yang awalnya tidak sadar, akhirnya merasakan sesuatu. Ia berhenti mengetik dan menoleh. “Sha, kenapa sih?”
Marsha menatapnya lurus dengan senyum licik. “Ayo main, Kak… gue udah nggak tahan…” bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Strings Attached? [End]
FanfictionDi suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan. Namun, kee...
![No Strings Attached? [End]](https://img.wattpad.com/cover/388959992-64-k305939.jpg)