Sinar matahari merayap malas di antara celah tirai, menghangatkan kulit telanjang Marsha yang masih lekat dengan jejak keintiman semalam. Tubuhnya menggeliat pelan, bergumul dengan selimut yang mulai terasa gerah. Punggungnya melengkung tipis, kakinya bergerak mencari sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang—di sisi lain ranjang.
Kosong.
Dahi Marsha berkerut kecil, tangannya meraba kasur. Dingin.
Ia membuka mata dengan malas, masih setengah sadar, dan menemukan sosok Andra berdiri di depan lemari, sibuk memasukkan pakaian ke dalam ransel. Punggung kekar pria itu terbuka lebar, garis ototnya bergerak halus saat ia membungkuk, menarik beberapa lipatan pakaian. Celana yang dipakainya melorot sedikit, memperlihatkan lekuk pinggul tajam yang nyaris kriminal di mata Marsha.
"Kakak…" suaranya serak, manja karena baru bangun.
Andra menoleh sekilas, alisnya terangkat. "Akhirnya bangun juga, kebo. Sini bantuin."
Marsha hanya mengerucutkan bibir, berguling malas di kasur. "Nggak mau… kakak aja…"
Andra mendengus pendek, tapi tetap sibuk mengemasi tas. "Ini yang tuan rumah siapa, sih?" Tangannya menarik beberapa pakaian dalam Marsha tanpa ekspresi. "Daleman lo gue bawa enam pasang. Cukup buat dua hari?"
Alih-alih menjawab serius, bibir Marsha justru melengkung nakal. "Cukup, cukup~ Lo bawa yang mana, Kak? Ada yang renda nggak~?"
Andra berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan datar penuh peringatan. "Jangan mulai."
Marsha hanya terkikik, lalu dengan malas bangkit dari kasur—dan selimut yang melilit tubuhnya langsung melorot, membebaskan kulit polosnya ke dalam dekapan cahaya pagi.
Andra sempat terpaku. Matanya menangkap bagaimana sinar itu membelai tubuh Marsha, menyoroti setiap lekuk tubuhnya yang montok dan menggoda. Lekuk dadanya penuh dan menggoda, jatuh alami dengan bentuk yang tetap menggiurkan, perutnya rata dengan pinggang yang ramping, lalu turun ke lekuk pahanya yang mulus. Sinar pagi seolah menyoroti tiap detailnya dengan sempurna.
Ia buru-buru membuang pandangan, kembali berfokus pada tas.
Tapi Marsha bukan tipe yang membiarkan mangsanya kabur begitu saja.
Ia melangkah mendekat tanpa suara, lalu menyelinapkan kedua tangannya ke leher Andra dari belakang, memeluknya erat. Dada telanjangnya menempel ke punggung pria itu, putingnya yang lembut bersentuhan langsung dengan kulitnya.
"Main dulu yuk sekali…" bisiknya, napasnya menggelitik telinga Andra.
Andra menoleh dengan ekspresi setengah sebal. "Ogah. Ntar telat kita."
Marsha manyun, tapi jelas tak menyerah. Tangannya meluncur turun, mengusap otot perut Andra, jemarinya yang lentik menggoda garis pinggul pria itu. "Ayolah, Kak~ buat closing. Dua hari ke depan kita bakal puasa, lho…"
Suaranya semakin lirih, semakin menggoda. Jari-jarinya bergerak nakal di sepanjang perut Andra, lalu berani turun lebih jauh.
Andra masih bertahan. "Nggak, kita bisa telat."
"Iiiish!"
Marsha langsung beralih ke mode serangan frontal. Ia menarik tubuh Andra lebih dekat, menekan dadanya yang terbuka ke dada pria itu. Kulit mereka bertemu, kehangatan bercampur. Ia mendongak, bibirnya menyapu rahang Andra. "Ayo seks~" godanya, suaranya menggemaskan tapi berbahaya.
Andra mendesah panjang. "Nggak."
"SEKS!"
"OGAH!"
"AYO SEEEKS!"
YOU ARE READING
No Strings Attached? [End]
FanfictionDi suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan. Namun, kee...
![No Strings Attached? [End]](https://img.wattpad.com/cover/388959992-64-k305939.jpg)