Kathrin perlahan membalik papan pintu dari OPEN menjadi CLOSED.

Lalu menatap Andra dengan lirih.

“Duduk dulu, kak...”

Andra tak menjawab. Hanya menunduk. Matanya tak fokus, pikirannya melayang entah ke mana. Seolah semua yang ia tahu... baru saja runtuh.

Dan malam pun terus berjalan, membawa luka yang belum ada jawabannya.

...

Cahaya temaram lampu motel membanjiri ruangan dengan rona kuning pucat, menciptakan bayangan lembut di dinding usang.

Suasana kamar itu terasa sunyi... tapi bukan sunyi yang tenang—melainkan sunyi yang menekan, seperti menanti sesuatu yang tak bisa dihindari.

Marsha duduk di tepi ranjang, diam.

Tubuhnya hanya dibalut bra dan celana dalam hitam. Telapak kakinya bertumpu pada lantai yang dingin, lututnya saling merapat, dan tangannya mencengkeram ujung seprai dengan erat—seolah itu bisa menenangkan debar jantung yang tak kunjung stabil.

Dari dalam kamar mandi, suara air terdengar samar.

Percikan lembutnya jatuh bertubi, mengisi kekosongan ruang, seolah mengingatkan bahwa waktu terus berjalan.

Pria itu sedang mandi. Masih bersiap. Belum terjadi apa-apa.

Tapi di kepala Marsha, badai sudah lama datang. Pikirannya bising. Batinnya robek oleh dua sisi yang terus bertabrakan.

Ia memejamkan mata. Napasnya panjang, dalam, seperti sedang menyelam ke lubuk hatinya sendiri.

Wajah Andra terbayang. Senyumnya. Tatapan lembutnya saat mengusap kepala Marsha, memanggilnya sayang dengan suara yang hanya dimiliki orang yang benar-benar mencintai.

Dan rasa bersalah itu mencengkeram dari dalam.

Namun... di baliknya, ada bayangan lain. Wajah seseorang yang juga sangat berharga baginya. Suara dari luka lama. Sebuah beban yang tak bisa ia buang begitu saja.

"Ini... harus dilakukan."

Kalimat itu ia ulang-ulang dalam hati, seperti mantra murung.

Marsha membuka mata perlahan, lalu menatap dirinya sendiri lewat pantulan samar di cermin kecil di dinding seberang.

Matanya merah, tapi tak menangis. Karena air mata pun kini bingung: harus keluar karena sedih, atau karena marah pada diri sendiri.

Ia menggigit bibir, mencoba menelan gemetar di dadanya.

“Maaf, sayang... Tapi... aku harus...”

Kalimat itu nyaris tenggelam dalam udara berat yang menggantung di kamar itu—namun tiba-tiba—

BRAK!!

Pintu kamar terbanting terbuka, menghantam dinding dengan keras.
Bagas menerobos masuk, nafasnya memburu. Di belakangnya, Flora ikut menyusul, wajahnya merah padam, matanya menyala penuh amarah.

Keduanya berkeringat, jelas-jelas datang dengan tergesa, dengan kemarahan yang belum sempat disaring.

Marsha menoleh kaget, matanya membelalak.

Refleks, ia menarik selimut, membungkus tubuh setengah telanjangnya.

“K-Kak—”

PLAK!!

Tamparan keras Flora mendarat di pipi Marsha, tanpa aba-aba.

Marsha terhuyung, nyaris terjatuh dari ranjang, hanya tertahan oleh genggaman eratnya pada selimut.

No Strings Attached? [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang