Di suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan.
Namun, kee...
Tapi malam ini berbeda. Ada keresahan yang membayang di setiap langkahnya.
Cling~
Bunyi lonceng di atas pintu berbunyi saat ia masuk.
Matanya langsung menyapu ruangan, berharap satu sosok itu muncul dari balik meja bar atau dari dapur, menyapa dengan senyum yang selalu berhasil menenangkan.
Tapi yang ia temui hanyalah pemandangan yang biasa—namun terasa asing malam ini.
Bagas sedang menata kursi sambil bersiul pelan. Di sisi lain, Flora dan Kathrin baru mengenakan apron, berbincang santai sambil tertawa kecil. Tak ada Marsha.
Andra langsung menghampiri mereka, suaranya cepat dan cemas. "Bang, Marsha belum dateng?"
Bagas menghentikan gerakannya, menoleh dengan alis sedikit berkerut.
"Marsha? Dia izin libur hari ini. Nggak ngabarin lu?"
Andra membeku sejenak. "...Nggak. Dia... nggak ngabarin gue sama sekali. Seharian."
Kata-kata itu terdengar pelan, tapi cukup untuk membuat senyum di wajah Kathrin dan Flora memudar. Kecemasan yang selama ini hanya dirasakan Andra kini menyebar.
Bagas menghela napas. Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar. Angin malam menerobos masuk, membawa hawa dingin.
"Lu cari dia sekarang, Ndra," ucapnya tegas. "Temuin, ngobrol, beresin. Urusan kerja belakangan."
Andra menatapnya, terharu sekaligus ragu. "Bang..."
"Udah, jangan banyak mikir. Di sini aman. Lagian, lu nggak bakal bisa kerja juga kalo kepala lu masih muter-muter mikirin dia."
Andra terdiam sejenak. Matanya masih mencari—seolah berharap Marsha muncul di detik terakhir dan berkata 'aku di sini'. Tapi kenyataan tetap dingin.
Ia mengangguk.
"Thanks, Bang." Lalu menoleh ke arah dua rekannya. "Gue tinggal dulu ya, guys."
"Tapi jangan lama-lama. Kalo lu ikut-ikutan ilang juga, gue tabok," tambah Flora setengah bercanda, setengah serius.
Andra tersenyum kecil, lalu berbalik. Dan dengan satu tarikan napas panjang—seolah menyerap kekuatan dari malam itu—ia mulai berlari.
Langkahnya membawa satu tujuan: menemukan gadis yang membuat hatinya resah, yang entah ada di mana... dan kenapa.
.
.
.
Satu setengah jam.
Langkah kaki Andra tak lagi menghitung waktu. Hanya degup jantung yang jadi penanda—semakin berat, semakin resah.
Tubuhnya kini bersandar lemas di pagar besi jembatan penyebrangan, tangan mencengkeram ponsel yang sejak tadi tak memberi kabar apapun. Nafasnya terengah, napas orang yang sudah terlalu lama berlari tanpa arah, hanya bermodalkan harap.
Ia sudah ke rumah Marsha. Mengetuk. Memanggil. Berharap ada jawaban dari balik pintu itu. Tapi nihil. Rumah itu sunyi, dingin, tak berpenghuni malam ini.
Ia lanjut menyusuri jalanan, menatap setiap kerumunan, menelusuri setiap trotoar. Mencari siluet yang ia kenal di antara keramaian. Tetap tak ada. Hampa.
Dan kini ia di sini. Di tempat semua bermula.
Jembatan penyebrangan tua yang catnya mulai pudar. Di sinilah dulu ia bertemu gadis itu untuk pertama kalinya—Marsha, yang waktu itu bukan siapa-siapa. Seorang gadis manis yang menawarkan tubuhnya dengan senyum palsu dan mata lelah.
Dan ia, hanya pelanggan iseng yang sedang stress dengan akademik dan pekerjaan.
Tapi nyatanya, pertemuan itu adalah awal dari semuanya. Dari senyum, dari tawa, dari cinta… dari luka.
Andra menatap kota di bawahnya, lampu-lampu jalan menyala lembut, kendaraan lalu lalang seperti biasa. Tapi dunia terasa sepi. Hanya ada suara pikirannya sendiri.
Ponselnya kembali ia angkat, layar menyala menampilkan nama: Bby🤍.
Ia menatapnya sejenak, ibu jarinya ragu di atas tombol hijau.
"Marsha... please..." bisiknya, suara tercekat. "Angkat, kali ini aja..."
Tapi belum sempat ia menekan tombol itu—
Sesuatu membuatnya membeku.
Di bawah sana, di trotoar seberang jalan...
Seorang gadis tengah melangkah pelan, menggandeng pria paruh baya.
Langkah mereka lambat, seperti tak terburu waktu. Wajah gadis itu tertunduk, tapi tak mungkin Andra salah.
Itu Marsha.
Dan ia tahu pasti ke mana arah mereka berjalan.
Bibir Andra bergetar. Dunia tiba-tiba sunyi.
Langkah itu menuju bangunan di ujung jalan. Sebuah motel kecil dengan neon berkedip lemah—motel yang sama, tempat mereka pertama kali menghabiskan malam bersama.
Satu titik di masa lalu yang kini terulang, namun dengan rasa yang jauh berbeda.
Andra tak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya seperti kehilangan daya. Pikirannya kabur. Hatinya remuk, tapi belum sepenuhnya paham kenapa.
"...Sha..." bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Ia berdiri sendiri di atas jembatan itu, menyaksikan orang yang ia cintai berjalan menjauh... tanpa penjelasan, tanpa alasan.
Meninggalkannya hanya dengan pertanyaan yang menggema di kepalanya—
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Bersambung
.
.
.
.
.
AUTHOR'S NOTE
Fyi nih cerita kesukaan si AgumonSoptek, sukanya nagih-nagih tapi gamau donet huu👎🏻
Jadi mari ramaikan kolom komentar dengan #agumonkikir
.
.
.
.
.
OOT SECTION
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Lagi suka baca ini, ++nya ngga lebay, romancenya masih kerasa, artnya juga suka banget. Maybe someday bakal nulis dengan IB manhwa ini di akun raon.
Karena temanya kuliahan lagi, mending masuk Campussy aja ga sih? Tapi timeline nya setelah Enzo dkk lulus. Jadi isinya nanti anak-anak maba, oke ga sih?