Hening.

Ia menatap layar sebentar. Jempolnya bergerak, membuka kolom chat Marsha, berharap ada balasan.

Masih nihil.

"Hhh... masih belum juga ya..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Andra mengusap wajahnya, duduk bersandar di tepi ranjang. Pandangannya kosong beberapa saat, lalu bergeser ke ikon telepon di layar.

"Apa gue telpon aja, ya..." pikirnya, ragu.

Ada jeda. Sebuah pertimbangan yang menggantung di antara rasa peduli dan takut terlalu ikut campur.

Tapi akhirnya, ia menekan tombol hijau. Meletakkan ponsel di telinga.

Tuut... tuut... tuut...

Suara sambungan terdengar. Tapi tak ada jawaban.

Andra menunggu, menahan napas tanpa sadar. Namun pada akhirnya—
Sambungan berakhir. Tidak diangkat.

Ia mendesah panjang, pelan, seperti udara yang membawa beban dari dalam dadanya.

"Dah lah..." ucapnya pelan. "Kuliah dulu aja."

Dengan gerakan malas, Andra bangkit dari ranjang. Kakinya menyentuh lantai yang dingin. Ia berjalan menuju kamar mandi kecil di pojok ruangan, membuka keran, membiarkan air mengalir deras.

Ia menunduk di bawah pancuran, membiarkan air dingin membasahi wajah dan rambutnya. Mencoba menenangkan pikirannya, sejenak menjernihkan rasa cemas yang sejak tadi bersemayam.

.

.

.

Sore menjelang di kampus. Langit berwarna jingga keemasan, bayangan pepohonan panjang menyapu halaman, dan semilir angin menerbangkan dedaunan kering yang gugur di pelataran.

Di sudut kantin yang mulai sepi, Andra duduk sendiri.

Nasi goreng di hadapannya telah kehilangan aroma hangatnya. Uapnya sudah lama menghilang, digantikan hawa dingin dari kipas angin langit-langit yang berputar malas. Telur ceplok di atasnya mulai mengerut, kerupuk di sisi piring melempem. Belum satu suapan pun ia sentuh.

Tangannya bersedekap di meja. Pandangannya lurus ke arah ponsel yang tergeletak di atas permukaan kayu yang sudah agak usang. Layarnya menyala, menampilkan obrolan terakhir—chat terakhir dari dirinya sendiri.

Belum dibaca. Centang satu.

Ia menghela napas, pelan namun berat.

Beberapa mahasiswa masih terlihat lewat di belakangnya, lalu lalang membawa tas, buku, dan tawa. Tapi suara mereka cuma gema jauh di telinga Andra, seakan kantin itu hanya dihuni oleh dirinya dan kesunyiannya sendiri.

"Beb..." gumamnya lirih, jari telunjuk menggeser layar ke atas dan ke bawah—kebiasaan saat gelisah.

"Kamu di mana sih..."

Nada suaranya lebih dekat ke doa daripada pertanyaan. Seolah berharap angin sore membawa jawaban dari kejauhan.

Namun layar tetap sama. Hening. Tak ada getar. Tak ada bunyi.

Dan senja terus bergulir, perlahan-lahan menelan cahaya, menyisakan bayangan panjang dan satu hati yang semakin resah dalam penantian.

.

.

.

Malam turun perlahan, mengikis sisa jingga dari langit. Di antara kelip lampu kota yang mulai menyala, Andra berjalan cepat menuju tempat yang sudah menjadi rutinitasnya: kafe kecil di pojok kota, tempat semua lelahnya ditukar tawa dan... cinta.

No Strings Attached? [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang