Ponsel Marsha bergetar pelan di saku celananya. Gadis itu mengangkat alis, lalu buru-buru merogoh ponsel dan melihat layar.

Begitu nama si penelpon terpampang, wajah cerianya seketika berubah. Tak ada senyum. Tak ada candaan. Hanya diam yang tegang.

Ia langsung melangkah cepat menjauh dari bar, mencari sudut sepi di dekat rak penyimpanan bahan.

"...Halo?" ucapnya pelan, suara nyaris tak terdengar.

Andra yang memperhatikan dari jauh, langsung menyadari perubahan itu. Tatapan Marsha berubah. Gerak tubuhnya lebih kaku. Nada suaranya menegang, meski ia mencoba terdengar tenang.

Andra tidak bertanya. Ia menahan diri, membiarkan Marsha menyelesaikan panggilan itu terlebih dahulu.

Beberapa menit berlalu.

Marsha kembali ke area bar. Wajahnya sedikit pucat, ekspresinya gelisah. Tanpa banyak bicara, ia langsung menghampiri Bagas.

"Bang..." suaranya sedikit goyah, tapi ia berusaha terlihat tenang. "Gue balik duluan ya, boleh? Ada... urgent."

Bagas langsung menatapnya. "Ohh, boleh. Langsung aja, Sha. Nggak usah nunggu closing."

"Thanks, bang." Marsha mengangguk cepat, lalu bergegas menuju ruang staff.

Tak lama kemudian, ia keluar dengan apron yang sudah dilepas dan tas kecil tergantung di bahunya. Ia menghampiri Andra, yang kini berdiri di dekat bar, masih memegang lap di tangannya.

"Beb..." ucap Marsha pelan. "Maaf ya... aku harus pulang dulu."

Andra tersenyum lembut, meski jelas terlihat ada kekhawatiran di matanya. "Nggak apa-apa. Nanti kabarin aku, ya?"

Marsha mengangguk cepat, lalu mengecup pipi Andra dengan ringan.

"Mwah. Babaii~" ucapnya ceria palsu, seperti menutup situasi dengan senyuman.

"Hati-hati di jalan," balas Andra sambil menyentuh lengannya pelan.

Pintu kafe berbunyi cling~ saat Marsha keluar, membelah malam yang masih basah oleh hujan gerimis.

Dan begitu pintu menutup...

"Kak, dia kenapa?" tanya Kathrin dengan suara pelan, masih menyapu tapi matanya tak lepas dari pintu yang baru tertutup.

Andra menatap ke luar sejenak, diam.

"...Entah. Tapi gue kepikiran."

Bagas, yang sudah selesai menghitung uang kas, berdiri dan menepuk bahu Andra sekali.

"Tenang," ujarnya. "Dia pasti bakal kabarin lu... kalau waktunya udah datang."

Suasana jadi sedikit sunyi. Musik dari speaker tetap menyala, tapi kini terasa seperti hanya latar.

Di balik tawa-tawa tadi, ada sesuatu yang tak terucap—sebuah rahasia kecil yang mungkin baru akan terbuka... dalam waktu dekat.

...

Cahaya matahari menembus celah tirai, menghangatkan kamar kos Andra yang masih berantakan—buku kuliah bertumpuk di sudut meja, setumpuk baju kotor di pojok ruangan, dan ponsel yang tergeletak di sisi bantal, seolah menjadi penjaga malam yang setia.

Andra terbangun perlahan. Kepalanya masih berat, tapi bukan karena kurang tidur—lebih karena pikiran yang sejak semalam belum juga reda.

Hal pertama yang ia lakukan adalah meraih ponsel itu. Layarnya langsung menyala, menampilkan notifikasi kosong. Tak ada pesan. Tak ada panggilan tak terjawab.

No Strings Attached? [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang