Sementara itu, Flora dan Kathrin masih menatap Marsha dengan ekspresi penuh kehati-hatian, seakan takut gadis itu akan mengeluarkan komentar cabul lainnya yang bisa kembali menghancurkan pagi mereka.
...
Teras vila masih sepi, hanya suara angin yang berdesir pelan di antara pepohonan. Udara pagi yang segar bercampur dengan aroma asap rokok saat Andra dan Bagas bersandar santai di pagar kayu, masing-masing mengapit sebatang rokok di jemari.
Bagas menyulut rokoknya lebih dulu, mengisapnya dalam sebelum melepaskan asap ke udara dengan embusan pelan. Lalu, dengan nada santai, ia menoleh ke Andra.
"Akhirnya jadian juga lo berdua," katanya, sudut bibirnya tertarik ke atas dalam seringai kecil. "Udah muak gue liat lo denial."
Andra terkekeh, mengembuskan asap dari bibirnya sebelum menoleh balik ke Bagas. "Lo kapan nyusul bang?" tanyanya, nada suaranya ringan tapi jelas menyiratkan godaan.
Bagas tertawa pendek, lalu mengangkat bahu. "Alah, gue mah nikmatin jadi jomblo."
Andra menyipitkan mata, menatap Bagas penuh rasa skeptis. "Laaah… rugi bang," katanya dengan nada dibuat dramatis. "Nggak bisa… gituan!"
Bagas hanya mengembuskan asapnya dengan ekspresi santai. "Gampang itu mah," katanya, suaranya datar. "Gue bisa BO."
Andra tersedak sedikit, batuk kecil sebelum menoleh ke Bagas dengan ekspresi setengah kaget, setengah geli. "Buset," katanya. "Kayak yang banyak duit aja asal BO."
Bagas hanya nyengir, menepuk bahu Andra ringan sebelum kembali menikmati rokoknya.
Namun, tawa kecil Andra perlahan memudar. Ucapan Bagas barusan menggiring pikirannya kembali ke satu masa yang selama ini ia jarang pikirkan, atau lebih tepatnya, ia coba hindari.
Saat Marsha masih seorang gadis yang menjual tubuhnya.
Dan dia—Andra—menjadi satu-satunya pelanggan gadis itu.
Sekarang, mereka benar-benar menjadi sepasang kekasih. Status mereka berubah, hubungan mereka pun sudah berbeda. Tapi jika dipikir-pikir lagi… ia masih belum tahu alasan sebenarnya kenapa Marsha sampai nekat memilih jalan itu.
Ada sesuatu yang selama ini ia abaikan. Sebuah pertanyaan yang selalu tertahan di ujung lidahnya, tapi tak pernah ia tanyakan langsung.
Kenapa?
Andra menunduk sedikit, memainkan batang rokok di tangannya, matanya menerawang ke ujung jalan yang mengarah keluar dari vila.
Bagas, yang memperhatikan perubahan ekspresi Andra, menyipitkan mata curiga. "Kenapa, Ndra?" tanyanya, nada suaranya lebih tenang dari sebelumnya.
Andra menoleh, lalu menggeleng cepat. "…Nggak papa, Bang."
Bagas menghela napas, mengamati Andra sejenak sebelum akhirnya mengangkat bahunya, memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. "Yaudah," katanya santai, kembali mengisap rokoknya.
Tapi di dalam kepala Andra, pertanyaan itu masih berputar.
Dan ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menanyakannya langsung ke Marsha.
...
Malam terakhir di vila datang tanpa aba-aba. Angin gunung mulai menusuk, tapi langit cerah malam ini—penuh bintang, seolah tahu bahwa mereka butuh kenangan yang indah untuk dibawa pulang.
Di halaman belakang vila, kelima remaja itu melingkari perapian kecil yang menyala tenang. Api berkedip-kedip, memantulkan cahaya hangat di wajah-wajah mereka.
Bagas duduk bersila dengan gitar akustik di pangkuannya, jari-jarinya dengan santai memetik senar, menghasilkan alunan melodi akrab yang membuai.
Kathrin dan Flora duduk berdekatan, keduanya bernyanyi dengan penuh semangat, meski kadang fals—dan justru di sanalah letak serunya. Suara mereka membaur bersama suara jangkrik dan desir angin, menciptakan irama malam yang ringan dan damai.
Andra duduk bersandar pada kayu gelondongan panjang, sementara Marsha mendekap lengannya, kepalanya bersandar di bahu sang kekasih. Mereka tampak nyaman, hangat, dan... terlalu mesra untuk ukuran publik, meski yang melihat hanya teman-teman sendiri.
“Heh, tahan dikit napa, ini ruang umum!” celetuk Flora sambil melempar marshmallow dari kejauhan.
Marsha hanya nyengir dan makin nempel ke Andra. “Ih, iri yaa~”
“Bukan iri, geli!” balas Flora, disambut tawa lainnya.
Kathrin ikut menyahut, “Tapi serius deh, kalian berdua kayak udah nikah dua minggu. Padahal baru jadian semalem.”
Andra terkekeh, tangannya mengusap pelan kepala Marsha. “Ya biar cepet nyusul kalian lah, siapa tau abis ini yang jadian kalian berdua.”
“Heh!” serempak Flora dan Kathrin saling pandang, langsung saling tunjuk. “Gue?! Sama dia?!”
Bagas menggeleng sambil terus memetik gitar. “Tuh kan, denial. Sama kayak lo dulu, Ndra.”
Suasana pun kembali riuh oleh tawa dan ejekan kecil yang akrab.
Asap dari api unggun perlahan menari ke langit, menyatu dengan malam yang semakin larut. Di sela tawa dan nyanyian, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan—persahabatan yang solid, cinta yang tumbuh, dan memori yang akan tinggal lama.
Marsha menguap kecil, masih bersandar manja pada Andra. “Sayang… besok udah pulang ya?”
Andra menoleh, mengecup puncak kepalanya. “Iya… tapi tenang, kita pulangnya berdua sekarang.”
Marsha tersenyum kecil, menggenggam tangan Andra lebih erat.
“Jangan lupa ya,” gumamnya pelan. “Liburan ini awal kita…”
Andra mengangguk. “Dan bukan akhir dari kita.”
Di hadapan api yang mulai meredup, dan di tengah dingin yang mulai menggigit kulit, mereka semua tahu satu hal:
Malam ini… akan selalu jadi bagian dari cerita yang tak terlupakan.
Bersambung
.
.
.
.
nothing special chapter kali ini, pendinginan bentar sebelum...
jangan lupa vote dan komen yeah!
buat yang mau traktir author kopi bisa mampir ke saweria atau trakteer.
thankyou~
ŞİMDİ OKUDUĞUN
No Strings Attached? [End]
Hayran KurguDi suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan. Namun, kee...
![No Strings Attached? [End]](https://img.wattpad.com/cover/388959992-64-k305939.jpg)