"Mau ngomong apa? Lanjutin!"

Andra menatapnya dengan ekspresi datar. "Maksa amat."

"Ish!" Marsha makin mendekatkan wajahnya, bibirnya melengkung licik. "Kalo nggak mau bilang, gue cium."

Andra tetap diam.

Marsha menyipit. "Jangan-jangan emang mau dicium ya?"

Ia maju, menyentuhkan bibirnya ke bibir Andra. Awalnya sekilas, hanya menekan ringan. Namun, sebelum Andra bisa bereaksi, Marsha menggigit kecil bibir bawahnya, menariknya pelan sebelum melepaskan.

Itu seperti api kecil yang langsung menyulut bensin.

Seketika, tangan Andra melingkar erat di pinggang gadis itu, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka benar-benar bertaut. Bibirnya langsung membalas, melumat dengan lebih dalam, lebih menuntut.

"Mmnh—!"

Marsha mengerang di sela ciuman, tangannya mencengkeram bahu Andra. Tapi bukannya menjauh, gadis itu malah semakin menyesuaikan ritme, ikut melumat dengan gairah yang sama besarnya.

Andra merasakan segalanya dalam satu tarikan napas. Keinginan. Godaan. Hasrat yang selama ini ia coba tahan, tapi selalu gagal ketika berhadapan dengan Marsha.

"Mmhh~ hnnngh~ mmwahh…" Marsha mendesah kecil saat ciuman mereka terlepas sejenak. Napasnya tersengal, matanya berkabut.

"Kakh... jangan buas-buas... nanti gue becekh..."

Andra menatapnya lekat-lekat, bibirnya melengkung tipis. "Gue bikin lo becek, tapi nggak bakal gue puasin."

"Nggh~ jahat~" Marsha menggumam, tapi ada kilatan menantang di matanya.

Andra menunduk, bibirnya menyapu turun ke garis rahang Marsha, lalu turun lagi ke lehernya.

"Hnnh~"

Marsha menggeliat di pangkuannya, tangannya refleks meremas bahu pria itu saat ciuman lembut berubah menjadi hisapan. Andra dengan sengaja meninggalkan jejak samar di kulit putih gadis itu.

"Dih! Kakak ninggalin bekas—"

Marsha tak sempat menyelesaikan kalimatnya saat bibir Andra terus menjelajah. Bahunya, tulang selangkanya, hingga turun ke belahan dadanya yang terbuka.

"Nnghh…"

Marsha menggigit bibir bawahnya, tangannya refleks meremas rambut Andra ketika pria itu mencium kulitnya lebih dalam. Napasnya mulai bergetar, tapi sebelum ia bisa benar-benar memproses sensasi itu, Andra turun lebih jauh.

Hingga… giginya mencengkeram ujung bra Marsha.

"H-Hah?!"

Marsha langsung menegang. Tapi alih-alih berhenti, Andra menariknya pelan dengan gigi, membiarkan kain itu bergeser, sedikit demi sedikit, hingga puting Marsha akhirnya terlihat.

"K-Kakak…!"

Nada terkejut itu terdengar lemah, hampir menyerupai erangan.

Andra melepas ujung bra dari giginya, menatap pemandangan di depannya dengan mata berkilat. Bibirnya melengkung, jemarinya terangkat, mengusap perlahan kulit halus di bawahnya.

"Udah gue buka, tapi gue nggak janji bakal nyentuh," gumamnya rendah.

Marsha menggertakkan giginya, ekspresi kesal bercampur malu. "Jahat…!"

Andra hanya menyeringai. "Mau gue tutup lagi?" tanyanya dengan nada menggoda.

Marsha mendelik, lalu dengan ekspresi keras kepala, ia malah mendorong dadanya lebih dekat ke wajah Andra.

"Lo tanggung jawab!"

Andra mengangkat alis. "Tanggung jawab? Lo sendiri yang nempelin, tau."

"Bodo! Lo yang mulai, Kak!" Marsha bersikeras, bibirnya mengerucut gemas, tapi matanya masih berkabut.

Andra menghela napas pura-pura malas, lalu mendekat. Jemarinya terangkat, menyusuri lekuk tubuh Marsha dengan gerakan lambat, penuh penguasaan. Marsha menggigil kecil, tapi tetap mempertahankan posisinya.

Andra menyentuhnya perlahan, jempolnya menyapu puncak yang mulai mengeras.

"Hhhnn…" Marsha mendesah lirih, tangannya refleks mencengkeram bahu Andra.

Pria itu tidak langsung mencium atau menggigit. Tidak. Dia malah menggoda lebih dulu. Telapak tangannya menyapu perlahan, menggambar lingkaran di sekeliling titik sensitif itu, membuat Marsha semakin gemas.

"K-Kakh…" Marsha melenguh frustrasi. "Jangan nakal…!"

Andra terkekeh, lalu akhirnya, ia menunduk. Bibirnya menyapu ringan, mengecup dengan penuh provokasi sebelum akhirnya lidahnya mengusap, menggoda dengan gerakan lambat yang hampir menyiksa.

"Hhh… aahh…!"

Marsha merintih, tubuhnya melengkung, merespons dengan sangat natural. Jemarinya meremas surai Andra, menariknya makin dekat, seolah ingin meminta lebih.

Andra tidak mengecewakan. Ia menghisap perlahan, menahan napas Marsha di tenggorokannya, lalu tiba-tiba—

"Khh—!"

Ia menggigit.

Tidak keras, hanya cukup untuk meninggalkan sensasi tajam yang menusuk dalam cara yang paling nikmat.

"Aahh! Kakh…!" Marsha terlonjak kecil, menggigit bibirnya kuat-kuat. Matanya yang tadi berkabut kini sepenuhnya berkaca-kaca, antara malu, syok, dan… antisipasi.

Andra melepaskan gigitannya, menatap hasil karyanya dengan seringai puas. Bekas merah samar terlihat jelas di kulit Marsha.

"Hmm…" Andra menyapu ujung jarinya ke bekas itu, seolah mengaguminya. "Tanggung jawabnya cukup segini?"

Marsha masih terengah, berusaha mengatur napasnya. Tapi begitu mendengar pertanyaan itu, ekspresinya berubah kesal.

"Nggak cukup lah! Gue udah—"

Sebelum sempat menyelesaikan protesnya, Andra menariknya ke ciuman dalam yang langsung menenggelamkan sisa kata-katanya.

Bersambung

No Strings Attached? [End]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz