"ARGH!"

Kesabaran Andra habis. Dengan satu gerakan cepat, ia mendorong tubuh Marsha kembali ke ranjang. Gadis itu jatuh dengan bunyi brugh!, kedua pergelangan tangannya kini terkunci di atas kepala.

Marsha menelan ludah. Oh, sial. Ini yang ia inginkan, tapi juga yang ia takuti.

Andra menatapnya dari atas, mata gelapnya tajam, napasnya sudah sedikit berat. "Fine," suaranya rendah, nyaris geraman. "Quickie sekali. Terus beres-beres."

Marsha nyaris bersorak kemenangan, sampai Andra tiba-tiba menarik celana dalamnya sendiri dengan gerakan kasar.

Gadis itu langsung memerah. "T-tapi jangan galak-gal—haaangh!"

Terlambat.

Andra sudah mengunci pinggulnya di antara paha Marsha, napasnya memburu di dekat leher gadis itu. Tangannya yang besar menjalar ke seluruh tubuhnya, jemarinya mengelus pahanya yang lembut sebelum meremasnya kuat-kuat. Bibirnya mulai sibuk di sepanjang bahu dan lehernya, menggigitnya tanpa ampun, meninggalkan jejak kemerahan yang akan sulit hilang dalam dua hari ke depan.

Jari-jari Marsha mencengkeram seprai di bawahnya, tubuhnya menegang di bawah permainan Andra. Punggungnya melengkung, erangan mulai lolos dari bibirnya.

"AANHH~! K-KAKH! PELAN—HAAANGHH~!"

Tapi Andra tidak tertarik mendengarkan rengekan gadis itu.

Tangannya bergerak lebih jauh, lebih dalam, napasnya semakin berat.

Marsha mungkin menginginkan ini sejak awal, tapi ia lupa satu hal.

Ketika Andra sudah kehilangan kesabaran…

…dialah yang akan kehilangan kendali.

...

Di depan kafe, sebuah mobil hitam mengilap milik ayah Kathrin sudah terparkir dengan gagah. Di bawah naungan bayang-bayang gedung, Kathrin, Flora, dan Bagas menunggu dengan wajah bosan.

Flora mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke aspal, melipat tangan di dada. "Lama banget sih dua bocah itu? Udah hampir setengah jam, sumpah!" keluhnya.

Kathrin, yang bersandar santai di mobil, hanya terkikik kecil. "Halah, sabar. Udah pasti lagi mesra-mesraan dulu tuh. Lo kira kenapa tadi Andra nggak ngebales chat? Hehe…"

Bagas mengangkat alis, menoleh malas. "Jangan bilang mereka telat gara-gara…"

Dan tepat saat itu juga—

"GUYS! SORRY LAMA!"

Sosok Andra akhirnya muncul, berlari kecil dengan napas sedikit tersengal. Sebuah tas ransel besar menggantung di bahunya, sementara satu tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Marsha, hampir seperti menyeretnya.

Tapi yang aneh adalah—Marsha terlihat sumringah. Pipinya merah merona, matanya berbinar penuh kilau kepuasan, dan senyum lebarnya terlalu mencurigakan untuk diabaikan. Ada sesuatu yang… tidak biasa.

Bagas menyipitkan mata, lalu melirik Andra dengan penuh curiga. "Marsha kenapa tuh? Mukanya merah banget."

"Hmm? Emang iya?" Marsha menangkup kedua pipinya sendiri, masih dengan ekspresi berbunga-bunga. "Hihi… nggak papa kok~" suaranya terdengar sedikit terlalu manja, sedikit terlalu bergetar.

Flora memicingkan mata lebih tajam. "Aneh… Jangan-jangan lo abis—"

"U-UDAH, nggak usah ngeribetin bocah aneh ini!" potong Andra buru-buru, menepuk punggung Marsha agar gadis itu cepat masuk ke mobil. "Ayo berangkat sebelum makin telat."

Kathrin hanya nyengir penuh arti, sementara Flora dan Bagas bertukar pandang dengan ekspresi campuran antara paham dan malas komentar.

"Yaudah, yaudah," kata Flora akhirnya. Ia naik ke kursi belakang bersama Kathrin dan Marsha, sementara Andra duduk di samping kursi kemudi.

Bagas, yang memang bertugas menyetir, menghela napas sebelum memasukkan kunci dan menyalakan mesin. "Kalau ada yang ketinggalan, tanggung jawab sendiri ya," gumamnya sebelum menarik tuas persneling.

Begitu mobil melaju, Kathrin menyeringai dan menyenggol Marsha yang masih terlihat berbinar-binar. "Jujur aja, tadi ngapain sih?"

Marsha hanya terkekeh penuh misteri. "Rahasia~"

Dan dengan itu, perjalanan menuju villa pun dimulai.

...

Di dalam mobil hitam yang melaju di jalanan luar kota, suasana penuh keriangan.

"YANG MENCINTA, FORTUNE COOKIE~ CANGKANG ITU, AYO COBA PECAHKAN SAJA~ HEY HEY HEY~"

Di kursi belakang, Kathrin, Flora, dan Marsha sedang asyik karaokean, kompak bernyanyi dengan semangat yang bikin mobil hampir terasa seperti panggung konser mini. Marsha bahkan mengayun-ayunkan tangannya seirama dengan musik, sementara Flora berusaha mengimbangi dengan gerakan kepala yang lebay.

Bagas yang duduk di kursi pengemudi ikut bersenandung kecil, tangannya tetap fokus di setir. Namun, di sebelahnya, Andra tampak setengah sadar—kepalanya sedikit tertunduk, mata nyaris terpejam.

"Ndra, ngantuk?" tanya Bagas, melirik sekilas.

Andra menggumam pelan sebelum mengangkat kepalanya. "Huh? Iya bang, ngantuk banget."

Bagas menyeringai, nada suaranya menggoda. "Abis ngapain sama Marsha?"

Andra langsung tersentak, rasa kantuknya sedikit berkurang. "Hah? Nggak ngapa-ngapain lah."

Bagas mendengus kecil, lalu menaikkan volume musik agar suara mereka tidak terdengar oleh yang lain. Setelah itu, ia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Andra dan berbicara lebih pelan.

"Gue tau lo ada sesuatu sama Marsha," ujarnya santai, tapi tajam. "Meskipun mungkin lo masih denial."

Andra menoleh, sedikit terpaku.

Bagas menghela napas, tetap fokus ke jalan, lalu melanjutkan, "Lo harus mulai jujur, Ndra. Manfaatin liburan ini buat ungkap semuanya ke Marsha."

Andra terdiam. Pikirannya berputar.

Tanpa sadar, matanya melirik ke spion, memperhatikan gadis itu di kursi belakang. Marsha masih asyik bernyanyi, wajahnya begitu cerah dan bebas, seperti selalu. Pipinya sedikit merona, mungkin efek dari kehebohan tadi atau—Andra menepis pikiran itu cepat-cepat.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu Bagas ada benarnya.

Mungkin… memang sudah saatnya ia berhenti mengelak. Sudah saatnya ia jujur pada perasaannya.

Bersambung

No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now