Di suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan.
Namun, kee...
Andra akhirnya menoleh, menatap tangan Marsha yang sedikit bergetar, mungkin akibat kelelahan setelah seharian mengaduk adonan dan mengurus dapur bersama Flora. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan gadis itu dan mulai memijatnya dengan lembut.
Marsha terkejut sesaat, tetapi kemudian bibirnya melengkung dalam senyum kecil. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menikmati sentuhan Andra yang terasa menenangkan.
Bagas, yang sedari tadi memperhatikan, mendengus pelan sebelum berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Ehem, gue masuk dulu ya. Mau ngitung duit di kasir," katanya, pura-pura tidak melihat apa yang terjadi.
Andra hanya mengangguk tanpa melepas genggaman tangannya pada Marsha. "Iya, bang."
Begitu Bagas menghilang ke dalam kafe, Marsha bergerak lebih dekat. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Andra, tubuhnya yang mungil tampak semakin rileks dalam pelukan udara malam.
Andra mendengus geli. "Kenapa lo?"
"Enggak papa. Lanjut pijetin," ujar Marsha, suaranya terdengar sedikit manja.
Andra mencibir. "Dih, ngelunjak."
Tapi meski mulutnya protes, tangannya tetap bekerja, menekan lembut jari-jari Marsha, melonggarkan otot-otot yang tegang. Gadis itu menghela napas pelan, matanya setengah terpejam menikmati sentuhan itu.
Sementara itu, di dalam kafe, tiga pasang mata mengintip dari balik jendela. Kathrin, Flora, dan Bagas—yang ternyata belum benar-benar ke kasir—tengah menatap adegan di luar dengan senyum jahil di wajah mereka.
Kathrin terkikik pelan, menutup mulutnya dengan tangan. "Ya ampun, kak Andra perhatian banget ya... pacaran diem-diem nih?"
Flora ikut menyeringai. "Cieee... ciee...."
Bagas hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, lalu mengangkat ponselnya dan dengan cepat mengambil beberapa foto.
Klik!
"Kita simpen buat bahan gosip besok," katanya santai.
Dan di luar sana, tanpa menyadari aksi rekan-rekannya, Andra dan Marsha terus larut dalam keheningan yang nyaman.
...
Di dalam kamar kos yang remang-remang, deru napas terdengar memenuhi ruangan. Marsha berada di pangkuan Andra, tubuhnya terasa panas dan bergetar dalam dekapannya. Tangan mungilnya mencengkeram bahu pria itu, seolah takut Andra akan menjauh.
"Mmhh… mwah… hmmhh…"
Ciumannya dalam, penuh keinginan yang tak bisa dijelaskan. Setiap sentuhan bibirnya membawa gelombang perasaan yang semakin sulit ia kendalikan.
Namun, tiba-tiba Andra menarik diri sedikit, napasnya masih tersengal. "Oi, Sha… kenapa sih? Kok tiba-tiba gini? Baru juga balik."
Marsha terdiam, lidahnya kelu. Bahkan dirinya sendiri tidak tahu kenapa. Yang ia tahu, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya sejak tadi. Rasa itu muncul begitu saja saat ia melihat Kathrin menempel pada Andra di kafe. Sesuatu di dalam dirinya bergejolak, campuran antara kesal, frustasi, dan… takut?
Dan sekarang, ia melampiaskan semuanya seperti ini.
Marsha menatap Andra dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, tapi ia segera menyembunyikan kegelisahannya dengan seringai menggoda. "Udah diem aja, Kak. Gue sange," ucapnya santai, meski ia sendiri tahu itu bukan alasan sebenarnya.
Andra menatapnya lekat-lekat, seolah berusaha mencari sesuatu di balik kata-kata itu. Tapi alih-alih bertanya lebih jauh, ia hanya menghela napas panjang, menyerah pada situasi. "Tapi gue nggak mau bayar ya, kan lo yang minta."
Marsha tersenyum kecil, meski di balik senyumnya, hatinya terasa aneh. "Iya, iya… buruan lepas celana."
Andra menggeleng, terkekeh lirih, tapi tetap menurut. Tangannya bergerak, dan dalam sekejap, mereka kembali tenggelam dalam malam yang semakin panas.
Namun, di antara desahan dan erangan samar, ada sesuatu yang menggantung di udara. Perasaan yang tak terucapkan.
Marsha menggigit bibirnya, matanya terpejam erat. Apa ini? Kenapa dadanya terasa sesak?
Sementara Andra… pria itu tetap diam, membiarkan semuanya mengalir. Seolah jika ia mengabaikan kegelisahan di dadanya, maka perasaan itu tidak akan pernah ada.
Dan begitu saja, mereka kembali larut dalam hasrat. Membiarkan tubuh mereka berbicara, sementara hati mereka terus menyangkal apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Atau mungkin… mereka hanya takut mengakuinya.
Bersambung
denial tingkat lanjut sat, bukannya jujur malah iclik ajg
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.