...

Langit malam mulai menggelap sempurna ketika Andra melangkah pulang setelah menyelesaikan shift kerjanya di kafe. Lampu jalan berpendar samar, menerangi trotoar yang lengang. Angin malam berhembus pelan, membawa sedikit kelelahan yang masih melekat di tubuhnya.

Saat melangkah melewati jembatan penyeberangan yang biasa ia lewati, matanya tanpa sadar menangkap sosok yang begitu familiar. Seorang gadis bersandar pada pembatas jembatan, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, sementara tatapan matanya menerawang kosong ke arah jalanan di bawahnya.

Marsha.

Andra mengerutkan dahi. Apa yang gadis itu lakukan di sini?

Seolah merasakan kehadiran seseorang, Marsha menoleh. Begitu menyadari siapa yang datang, senyum langsung terukir di wajahnya, dan tanpa ragu, ia melangkah mendekat.

"Kakak!" sapanya riang.

Andra menghentikan langkahnya, menatap gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Nyari pelanggan?" tanyanya setengah bercanda.

Marsha menggeleng cepat. "Nungguin lo," jawabnya santai.

Dahi Andra semakin berkerut. "Ngapain nungguin gue?"

Marsha menyeringai kecil. "Ya kan gue mau nginep di kosan lo," ucapnya enteng, seolah itu adalah hal yang sudah lumrah.

"Lagi?"

Tanpa dosa, Marsha mengangguk. "Hmm, udah kayak rumah kedua buat gue."

Andra mendengus, lalu menggeleng pelan. Tanpa banyak bicara, ia merogoh kantong celananya, mengambil sebuah kunci cadangan, lalu menyerahkannya kepada Marsha.

"Nih, bawa aja satu," ucapnya ringan.

Marsha menatap kunci di tangannya, sebelum akhirnya terkekeh kecil. "Serius, nih? Gue dikasih akses bebas ke kosan lo?" godanya, menaik-naikkan alis.

"Ya daripada tiap malam lo nongkrong di tempat aneh sambil nungguin gue, mending lo langsung masuk sendiri aja," sahut Andra santai.

Marsha menyeringai lebar. "Wah, berarti kalau gue tiba-tiba bawa cowok lain, boleh dong?"

Andra meliriknya tajam. "Coba aja kalau lo mau gue buang kunci itu ke kali sekarang."

Marsha langsung tertawa, menggelayut manja di lengan Andra. "Becanda, Kak~ Tenang aja, pelanggan gue lo doang kok."

Andra hanya bisa menghela napas panjang. "Dasar bocah…"

Tanpa banyak kata lagi, keduanya mulai melangkah berdampingan, melewati jembatan yang sepi. Langkah mereka pelan, santai, seolah menikmati keheningan malam.

Entah sejak kapan, hubungan mereka mulai terasa lebih nyaman seperti ini. Marsha yang dulu hanya datang dan pergi untuk sekadar 'bertransaksi', kini mulai melekat dalam keseharian Andra. Dan meskipun mereka berdua sama-sama menyangkal, perlahan, batasan yang dulu mereka buat mulai memudar.

...

Langkah mereka terus beriringan di sepanjang trotoar yang sepi, hanya ditemani gemerisik dedaunan yang tertiup angin malam. Marsha tampak lebih ceria dari biasanya, sesekali mengayunkan kunci yang baru saja diberikan Andra, seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru.

Namun, tiba-tiba Andra bersuara, menghentikan lamunannya.

"Oh iya, Sha," ucapnya, menoleh ke arah gadis itu. "Besok lo ikut gue ke kafe, ya."

Marsha mengerutkan kening, penasaran. "Ngapain, Kak?"

"Katanya kalau ada kerjaan lain, lo bakal stop jual diri, kan?" Andra menoleh sekilas padanya. "Ya udah, ini ada kesempatan buat lo kerja di sana."

Langkah Marsha terhenti begitu saja.

Andra baru sadar setelah beberapa langkah ke depan. Saat menoleh ke belakang, ia mendapati Marsha berdiri diam di tempat, kepalanya menunduk, bahunya sedikit bergetar.

"Loh? Kok diem aja lo?" tanyanya heran.

Tidak ada jawaban. Hanya suara napas Marsha yang mulai terdengar berat. Andra mengernyit, lalu melangkah mendekat.

"Sha?" panggilnya.

Begitu wajah gadis itu sedikit terangkat, Andra bisa melihat dengan jelas—mata Marsha berkaca-kaca, dan sebelum ia sempat mengatakan apa pun lagi, butiran air mata pertama jatuh dari kedua matanya.

"Loh, loh, kok nangis?" suara Andra langsung panik.

Namun, Marsha tidak menjawab. Gadis itu hanya berdiri di sana, bibirnya bergetar, sebelum akhirnya ia melangkah cepat dan langsung merangkul tubuh Andra erat-erat.

"Kak..." suaranya tersendat di sela isakan. "Makasih..."

Hanya itu yang bisa ia ucapkan.

Andra terdiam sesaat, masih sedikit terkejut dengan reaksi gadis itu. Ia tidak menyangka tawarannya akan membuat Marsha bereaksi seperti ini. Tapi setelah beberapa detik, tangannya perlahan terangkat, membalas pelukan itu dengan lembut.

Ia mengusap punggung Marsha dengan gerakan perlahan, membiarkan gadis itu menumpahkan semua yang ia rasakan.

Tidak ada kata-kata lagi yang diucapkan, karena Andra tahu, terkadang diam lebih berarti daripada seribu ucapan.

Ia tidak tahu persis apa yang berkecamuk di kepala Marsha saat ini. Tapi satu hal yang pasti—bagi gadis itu, tawaran ini bukan sekadar pekerjaan. Itu adalah sebuah kesempatan. Sebuah harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka mengenal satu sama lain, Andra melihat sisi lain dari Marsha—bukan sebagai gadis yang ceria dan nakal seperti biasanya, bukan juga sebagai seseorang yang menjual dirinya demi uang.

Tapi sebagai seorang gadis yang selama ini hanya ingin diberi kesempatan.

Bersambung

Bersambung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now