Andra menghela napas panjang. “Gue masih nugas. Kalau emang nggak tahan, cari pelanggan sana.” 

Tapi alih-alih menjauh, Marsha justru semakin mendekat, tangannya sekarang sudah menangkup wajah Andra. “Gue maunya sama Kakak…” ucapnya penuh penekanan. 

Andra terdiam sejenak, memperhatikan wajah Marsha yang tiba-tiba tampak… berbeda. Ada semacam kilau aneh di matanya. Gadis itu seperti kucing dalam musim kawin, menggeliat-geliat penuh godaan di atas tubuhnya. Lalu, sesuatu terlintas di kepala Andra. Hari ke-14 dalam siklus menstruasi… Oh, sial, ini hari ovulasi dia… pikirnya. 

“Kaaaak…” rengek Marsha, kini duduk di atas pangkuan Andra, tubuhnya menggeliat seperti ulat bulu. “Ayolah, Kak… gue butuh banget…” 

Andra mencoba bertahan, memasang ekspresi datar. “Sha, gue bilang lagi nugas, kan? Kalau mau, tunggu sampai—” 

“Mmmpph!” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir Andra sudah diserang. Marsha melingkarkan tangannya di leher Andra, mencumbu pria itu dengan semangat yang menggebu-gebu. 

Andra akhirnya menyerah, menutup laptopnya dengan pasrah dan meletakkannya ke samping. “Yaudah iya, tapi lo—” 

“YEEESS!” Marsha langsung memekik penuh kemenangan, lalu mendorong Andra hingga terlentang di atas ranjang. Gadis itu tertawa kecil sambil menatap wajah Andra yang setengah bingung, setengah kesal. 

“Lo tuh ya…” Andra menggerutu, tapi hanya bisa menggeleng. 

Malam itu, tugas kuliah pun terpaksa terbengkalai. Andra pasrah menjadi korban rengekan dan kehangatan Marsha yang lagi-lagi menyerangnya tanpa ampun. Dan meskipun ia mengeluh, jauh di dalam hati, ia tahu… mungkin ini bukan akhir yang buruk untuk harinya.

...

Setelah sesi permainan yang panjang, Andra terbaring lelah di ranjang sempitnya. Nafasnya masih terengah, tubuhnya basah oleh peluh, dan pikirannya sedikit melayang akibat kelelahan. Ia menatap langit-langit kamar kosnya yang penuh coretan, mencoba mengatur ritme napas yang belum stabil. 

"Gila lo ya?" gerutunya dengan suara serak. "Mau bikin gue mati kering?" 

Di sebelahnya, Marsha masih asyik mencumbu lehernya, seolah belum puas. Bibirnya meninggalkan jejak-jejak hangat di kulit Andra, sementara tangannya menggambar pola-pola abstrak di dadanya. 

"Hmm... tapi enak, kan, Kak?" bisiknya dengan suara manja, lalu menempelkan sebuah kecupan lagi. "Udah lama kita nggak main begini..." 

Andra hanya bisa menggeleng heran, lalu menatap gadis di sampingnya. "Kalau gini mah malah lo yang ketagihan, Sha. Gimana mau punya pelanggan lain selain gue?" 

Marsha tertawa kecil, lalu menaikkan tubuhnya sedikit agar bisa menatap wajah Andra lebih dekat. Matanya berbinar-binar, seakan menikmati percakapan ini lebih dari yang seharusnya. 

"Biarin," katanya santai. "Kalau emang gue ketagihan sama lo, gue bakal bikin lo jatuh miskin." 

Andra mendecak, tapi tidak bisa menahan senyum. "Dasar..." gumamnya. 

Hening sejenak. 

Yang terdengar hanya suara napas mereka, sesekali diiringi bunyi kipas angin yang berdecit di sudut kamar. Keringat mulai mendingin di kulit mereka, tapi Marsha tetap memeluk Andra erat, seolah enggan melepaskan diri. 

Lalu tiba-tiba, Andra membuka suara. 

"Marsha." 

"Hmm?" 

"Kalau misalnya lo dapet tawaran kerja lain, lo bakal stop jual diri lagi, nggak?" tanyanya pelan, hampir seperti gumaman. 

Marsha mengerjap, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tapi tak butuh waktu lama baginya untuk tersenyum. 

"Yaiyalah, Kak," jawabnya ringan. "Ngapain gue lanjut jual diri kalau udah punya kerjaan yang bener?" 

Andra mengangguk dalam hening. Tatapannya menerawang, ekspresinya sedikit berbeda dari biasanya. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tampak seperti… pemikiran serius. 

Melihat itu, Marsha memiringkan kepala, menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. 

"Emang kenapa, Kak?" tanyanya akhirnya. 

Andra menggeleng, ekspresinya kembali datar. "Nggak papa, tiba-tiba kepikiran aja." 

Marsha menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum nakal. Tangannya bergerak, mengusap lembut sisi wajah Andra. 

"Tenang aja, Kak," katanya dengan nada menggoda. "Pelanggan gue cuma lo doang kok... nggak perlu takut gue cari pelanggan lain..." 

Andra mendengus, lalu memutar bola matanya. "Apa sih, berisik." 

Marsha hanya terkekeh puas, lalu semakin mengeratkan pelukannya. 

Di antara udara yang mulai mendingin dan kasur yang sempit, mereka berbagi kehangatan dalam diam. Tak ada kata-kata lagi, hanya hembusan napas dan detak jantung yang terasa di kulit masing-masing. 

Entah sejak kapan, tapi ada sesuatu yang perlahan berubah di antara mereka. Hanya saja, belum ada yang siap mengakuinya.

Bersambung

Bersambung

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
No Strings Attached? [End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora