...

Di trotoar yang mulai ramai, Marsha menikmati es krim favoritnya sambil berjalan di samping Andra. Udara pagi masih sejuk, jalanan belum terlalu padat, dan suasana terasa santai.

"Kak," panggil Marsha tiba-tiba, suaranya manja seperti biasa.

"Hm?" balas Andra tanpa menoleh, matanya lurus ke depan.

"Gue boleh main ke kosan lo nggak? Lagi bosen banget di rumah," pinta Marsha, kali ini dengan nada sedikit memelas.

Andra melirik sekilas, lalu mengangkat bahu. "Boleh aja. Lo udah sarapan belum?" tanyanya sambil mengarahkan pandangannya ke es krim yang hampir habis itu.

Marsha langsung menggeleng polos. "Belum."

"Yaudah, sekalian gue masakin di kosan. Lumayan, biar lo nggak makan sembarangan," ucap Andra santai.

Mendengar itu, Marsha langsung berhenti sejenak, memandang Andra dengan ekspresi berlebihan seperti tokoh drama. "Huaa Kakak... kok lo baik banget sih..." ucapnya sambil memeluk lengan pria itu, seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru.

Andra hanya terkekeh kecil, lalu berkata, "Biasa aja kali."

Namun Marsha menggeleng keras. "Nggak bisa gini, Kak. Gue harus kasih sesuatu buat ngebalas lo. Lo mau apa? Bilang aja, gue kasih deh!"

Andra menghentikan langkahnya, menatap Marsha dengan ekspresi pura-pura serius. "Apa aja, nih?" tanyanya, memastikan.

Marsha mengangguk mantap, wajahnya penuh rasa percaya diri. "Iya, apa aja. Gue serius!"

Senyum licik langsung menghiasi wajah Andra. Tatapannya turun perlahan, jelas-jelas mengarah ke bagian depan hoodie Marsha, tepat di dadanya. "Itu."

Marsha yang awalnya kebingungan langsung mengikuti arah pandangan Andra. Ia menunduk, menatap dadanya sendiri, lalu kembali menatap Andra. "Ini?" tanyanya sambil menggenggam kedua gundukannya dengan satu tangan.

"Yap."

Marsha langsung mendengus, ekspresi geli sekaligus tak percaya. "Dasar cowok. Ujung-ujungnya pasti kesitu."

Andra hanya tertawa kecil, tak merasa bersalah sama sekali. "Lah, kenapa? Lo sendiri kan yang bilang apa aja. Kalau lo nggak lagi red day, mungkin gue malah minta bagian lain," godanya sambil melangkah lagi, meninggalkan Marsha yang terdiam sejenak di belakangnya.

"Iiiih, Kakaaak~" Marsha berseru, lalu memukul lengan Andra dengan main-main, meski bibirnya tersenyum kecil.

"Kalau nggak mau ya udah. Balik aja sana, gue juga nggak rugi," ucap Andra pura-pura acuh, mempercepat langkahnya seolah meninggalkan gadis itu.

Marsha panik, langkahnya berubah menjadi lari kecil, dan dalam sekejap ia kembali merangkul lengan Andra dengan erat, seperti takut pria itu benar-benar pergi. "Aaaa, Kakak! Jangan ninggalin gue! Yaudah, mau!" katanya, menyerah dengan nada manja yang semakin dibuat-buat.

Andra hanya tersenyum lebar, puas karena berhasil menang. "Bagus. Kalau gitu, nanti di kosan kita bahas lagi."

"Ihh, gue serius loh!" seru Marsha sambil terus menempel erat, tapi kali ini dengan senyuman lebar yang tak bisa ia sembunyikan. Dan begitu saja, keduanya melanjutkan perjalanan, menikmati pagi yang entah kenapa terasa jauh lebih menyenangkan.

...

Pagi itu di kamar kosan Andra, suasana terasa hangat dan santai. Marsha sedang bersandar santai di tempat tidur Andra, memainkan ponselnya sembari sesekali menggoyangkan kakinya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah pria itu, yang sibuk memasak di dapur kecil ala-ala di sudut ruangan. Bau harum dari sup yang sedang dimasak Andra perlahan memenuhi ruangan, membuat perut Marsha berbunyi pelan.

“Nggak kelar-kelar, Kak?” tanya Marsha tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

“Sabarlah, Chef juga butuh waktu,” balas Andra, melirik sekilas sambil mengaduk panci di atas kompor.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Andra membawa semangkuk sup jagung yang masih mengepul hangat ke tempat tidur. Ia meletakkannya di hadapan Marsha, sambil duduk di tepi ranjang.

“Nih, Sha. Sup jagung spesial ala gue,” katanya dengan bangga.

Marsha langsung duduk tegap, meletakkan ponselnya ke samping. Matanya berbinar melihat semangkuk sup itu. “Waaah, ini isinya apa aja, Kak?” tanyanya penuh antusias.

Andra menyeringai. “Ada potongan ayam, telur rebus, tahu putih, dan tentunya jagung. Cobain aja.”

Marsha tak perlu diminta dua kali. Ia langsung mengambil sendok dan menyeruput kuahnya. Mata gadis itu langsung melebar. “Gila! Enak banget, Kak!” serunya dengan mulut penuh.

Andra tertawa kecil, merasa puas. “Habisin ya. Kalau kurang, bilang aja. Masih ada di panci.”

Marsha mengangguk, terus melahap sup itu dengan lahap. Tapi, beberapa saat kemudian, ia menyadari sesuatu. Andra tak bergerak dari tempatnya duduk dan terus menatapnya sambil menyeringai kecil.

“Kenapa sih lo liatin gue kayak gitu?” tanya Marsha, alisnya terangkat.

Andra hanya mengangkat alis, senyumannya semakin melebar tanpa menjelaskan apa-apa. Ia tahu persis bahwa Marsha sudah bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

“Duh, nggak bisa nunggu gue selesai makan, apa?” keluh Marsha, menghela napas berat.

Andra tetap diam, tapi sorot matanya tak berpaling sedikit pun. Senyumnya semakin menyebalkan, hingga membuat Marsha menyerah. Gadis itu meletakkan sendoknya, kemudian dengan gerakan malas, ia melepas hoodie yang dikenakannya.

Andra mengerjapkan mata, lalu tertawa kecil. “Wah, nggak pake daleman ternyata. Pantes ada yang mencurigakan dari tadi,” godanya sambil menahan tawa.

Marsha hanya mendengus, memasang wajah setengah kesal. “Udah, cepet. Gue mau makan lagi.”

Tanpa banyak bicara, Andra bergeser lebih dekat, lalu duduk di belakang Marsha. Tangannya melingkar di tubuh gadis itu, memeluknya dari belakang dengan santai. Awalnya, ia hanya diam, tapi perlahan tangannya mulai bergerak, dengan tujuan yang jelas.

“Mmhh…” suara kecil lolos dari bibir Marsha, refleks yang sulit ia tahan.

Andra menopangkan dagunya di bahu gadis itu, senyumnya masih sama jahilnya. “Udah, lanjutin aja makannya,” katanya santai.

“Gimana mau makan kalau lo begini, Kak…” Marsha mendengus pelan, tubuhnya sedikit menggeliat. “Geli… nnhh…

“Santai, gue pelan kok,” balas Andra sambil terkekeh, membuat suasana semakin canggung tapi juga hangat dengan caranya sendiri.

Marsha mendengus sekali lagi, tapi akhirnya menurut. Ia kembali mengambil sendoknya dan mencoba menikmati sup itu, meski konsentrasinya jelas terganggu oleh tangan Andra yang tak berhenti bergerak.

“Doyan?” tanya Andra, memecah keheningan dengan nada yang seolah-olah tidak ada hal aneh yang sedang terjadi.

Marsha mengangguk, sambil berusaha fokus mengunyah. “Heem,” gumamnya dengan mulut penuh.

Andra tersenyum, tangannya sedikit mengendur. “Lo sering-sering main ke sini aja, Sha. Gue bakal masakin yang lebih enak lagi. Sekalian gue belajar, siapa tahu nanti gue jadi Chef beneran.”

Marsha hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Oke, Kak. Gue terima undangannya.”

Keduanya melanjutkan pagi itu dengan cara mereka sendiri. Hubungan mereka memang aneh, tidak seperti hubungan biasa pada umumnya. Tapi sejak awal, hubungan itu memang dibangun tanpa banyak embel-embel perasaan. Sebatas kebutuhan, tanpa ikatan, tanpa harapan lebih. Setidaknya, itulah yang selalu mereka yakini—dan mereka berdua cukup nyaman dengan itu.

Namun di balik semua kebersamaan aneh itu, ada sesuatu yang hangat dan samar. Entah apa, tapi mungkin waktu yang akan menjawab.

Bersambung

No Strings Attached? [End]Where stories live. Discover now