Namun, gerakannya membuat selimut yang melilit tubuhnya melorot, mengekspos kulitnya yang halus dan gundukan dadanya yang kini sepenuhnya terlihat. Andra menelan ludah tanpa sadar. Pandangannya tertuju ke arah yang seharusnya tidak ia tatap terlalu lama. 

Seolah tidak sadar dengan apa yang baru saja terjadi, Marsha meregangkan tubuhnya sambil menghela napas puas. Tapi Andra sudah tidak bisa menahan diri. Tanpa aba-aba, ia mendekatkan wajahnya ke leher jenjang Marsha, mencium kulitnya yang masih terasa hangat setelah bangun tidur. 

"Mmhh… Kak, ngapain sih…" Marsha memalingkan wajahnya sedikit, merasa geli dan terkejut dengan serangan mendadak itu. 

Andra tersenyum kecil, tangannya mulai bergerak menuju tujuan yang lebih 'strategis.' "Gue minta bonus lagi boleh kan?" bisiknya, suaranya terdengar serak namun penuh godaan. 

Marsha mendesah, matanya kini sepenuhnya terbuka. "Ihh… masa bonus terus… rugi dong gue," protesnya setengah bercanda, meski rona merah mulai menyapu pipinya. 

"Jangan pelit," balas Andra sambil tersenyum nakal. "Gue kan pelanggan setia lo." 

Marsha menggeleng pelan, merasa pasrah dengan situasi ini. "Yaudah, tapi… kali ini aja, ya. Jangan kebiasaan." 

Andra langsung tersenyum puas. Tanpa membuang waktu, ia menarik wajah Marsha dan mencumbu bibirnya dengan penuh semangat. "Mmmhh…" Gumaman kecil keluar dari mulut Marsha, meski ia akhirnya mulai membalas ciuman itu. 

"Jangan kasar-kasar… hmmhh… gue baru bangun, tahu…" gerutunya di sela ciuman mereka. Tapi Andra hanya tertawa kecil, tangannya mulai menjelajahi tubuh gadis itu dengan keakraban yang kini terasa seperti rutinitas. 

Begitu saja, di antara tawa kecil, gumaman manja, pagi yang cerah menjadi lebih hangat dengan 'ronde bonus' yang mereka nikmati bersama. Sebuah awal hari yang tidak biasa, tapi entah kenapa terasa begitu alami untuk keduanya.

...

Andra sudah lebih dulu selesai mandi. Kini, ia berdiri di depan wastafel kecil di kamar mandi, hanya mengenakan celana boxer, sambil menggosok gigi dengan santai. Cermin di depannya sedikit berembun akibat uap panas dari kamar mandi, tapi cukup jelas untuk memantulkan sosoknya yang terlihat segar setelah mandi.

Di belakangnya, suara gemericik air mulai mereda. Marsha baru saja mematikan shower, mengibaskan rambut basahnya sebelum meraih handuk dan melilitkan kain itu di tubuhnya. Ia melangkah keluar dari tirai dengan santai, lalu mendekati Andra yang masih sibuk dengan sikat giginya.

Tanpa aba-aba, gadis itu tiba-tiba menarik sikat gigi dari tangan Andra dan langsung menggunakannya sendiri.

"Heh!" protes Andra dengan mulut penuh busa. "Jorok lo, masih gue pake itu!"

Marsha hanya meliriknya sekilas melalui cermin, lalu kembali menggosok giginya tanpa rasa bersalah. "Biarin," katanya dengan suara sedikit teredam oleh busa pasta gigi. "Lo udah kokopin mulut gue dari semalem, apa bedanya?"

Andra hanya bisa menghela napas panjang. Percuma berdebat dengan gadis ini. Ia akhirnya memilih membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap itu bisa sedikit menyegarkan pikirannya yang masih setengah mengantuk.

"Habis ini kita cari sarapan," ucapnya kemudian.

Marsha berkumur sebentar, lalu menoleh ke arahnya dengan ekspresi usil. "Lo yang traktir, kan?" tanyanya dengan nada manja.

Andra mendengus, menegakkan tubuhnya lalu menatap gadis itu dari cermin. "Buset dah… Gue udah habis banyak buat bayar lo," keluhnya.

Marsha hanya tersenyum santai, lalu menyandarkan tubuhnya ke punggung Andra. "Gue juga udah kasih lo bonus," bisiknya lembut, tangannya melingkar di pinggang pria itu. "Adil, kan?"

Andra terdiam sejenak, lalu menghela napas pasrah.

"Hahh… suka-suka lo deh," gumamnya, pura-pura tak peduli. Tapi dalam hati, ia tahu bahwa hari ini akan jadi hari yang panjang bersama gadis itu.

...

Pagi masih sibuk di tepi jalan, dengan suara klakson kendaraan dan percakapan pelanggan warung yang bersahutan. Andra dan Marsha duduk di kursi plastik, menikmati semangkuk bubur ayam hangat dari gerobak pinggir jalan. Aroma kaldu yang gurih bercampur dengan udara pagi yang masih sedikit sejuk.

Andra mengaduk buburnya perlahan, sementara Marsha sudah lebih dulu menyuapkan sesendok besar ke mulutnya.

"Kak, lo hari ini ada kelas?" tanya Marsha setelah menelan makanannya.

Andra mengangguk sedikit. "Ada, dua matkul. Habis itu langsung kerja," jawabnya santai, sebelum menyuap buburnya lagi.

Marsha ikut mengangguk, lalu menaruh sendoknya sebentar. "Gue malam ini nggak cari pelanggan," ujarnya tiba-tiba. "Mau nugas."

Andra melirik gadis itu sekilas. "Kenapa tiba-tiba laporan ke gue?" tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit menggoda.

Marsha terdiam sejenak. Sial. Benar juga, kenapa dia harus bilang begitu? Sejak kapan Andra jadi pihak yang harus tahu kegiatannya? Tapi, alih-alih bingung, ia segera menyusun alasan.

"Ya... takutnya lo nyariin gue aja," jawabnya dengan ekspresi datar, seakan itu adalah hal biasa.

Andra tersenyum miring, menahan tawa. "Apa coba?" katanya sambil mengaduk-aduk buburnya lagi. "Gue bisa jatuh miskin kalau nyariin lo terus."

Marsha terkekeh kecil, tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya. Ia kembali menyuapkan bubur ke mulutnya, namun pikirannya tidak benar-benar fokus pada makanan itu.

Kenapa dia refleks bilang seperti itu? Sejak kapan dia merasa perlu memberi tahu Andra soal kegiatannya?

Ah, mungkin cuma kebiasaan. Atau… mungkin ada hal lain yang mulai tumbuh di hatinya, sesuatu yang belum siap ia akui.

Bersambung

No Strings Attached? [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang