"Haaahh… akhirnya…" sebuah suara lelah terdengar dari arah dapur. Seorang gadis bertubuh mungil muncul dari area kitchen, meregangkan tubuhnya dengan gerakan dramatis.
Andra menoleh dan menyeringai. "Capek, Flo?" tanyanya sambil tetap membereskan pekerjaannya.
Flora, si pastry chef kecil-kecil cabe rawit, mendecak. "Yaiyalah, pake nanya," jawabnya dengan nada protes.
Andra tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan. "Sini, gue pijitin," tawarnya, masih dengan nada santai.
Tanpa pikir panjang, Flora langsung mendekat dan membalikkan badan, membiarkan Andra meletakkan tangannya di bahunya. Dengan gerakan luwes, Andra mulai memijat bahunya, menekan titik-titik yang terasa tegang setelah seharian bekerja.
"Uuuhhh… enak, Ndra…" gumam Flora, hampir seperti mendesah lega. Matanya terpejam sesaat, menikmati sentuhan ringan yang mengendurkan otot-ototnya.
Kathrin, yang sedari tadi melihat pemandangan itu, langsung memasang ekspresi iri. Ia meletakkan lapnya di meja dan melangkah mendekat dengan tatapan penuh harap. "Gue juga mau dipijet, Kak…" pintanya dengan suara manja.
Namun sebelum Andra sempat merespons, suara Bagas yang lebih berat langsung menyela. "Heehh, udah-udah, fokus beres-beres dulu. Makin lama kelar, makin lama kita pulang," tegurnya sambil tetap menyapu lantai.
Kathrin mendengus kesal. "Huuu, nggak asik lo, Bang," cibirnya, lalu kembali ke meja dengan langkah malas.
Flora hanya terkikik pelan, sementara Andra menghela napas kecil.
"Yah, lain kali ya, Kath," katanya ringan, sebelum kembali ke pekerjaannya.
Meski mereka semua lelah, obrolan ringan seperti ini membuat suasana terasa lebih hidup. Bagaimanapun, bekerja di kafe ini memang berat, tapi setidaknya, mereka masih bisa bercanda dan berbagi kehangatan di antara rekan kerja.
...
Langit sudah benar-benar gelap ketika Andra melangkah pulang. Jam tangannya menunjukkan waktu yang sudah melewati tengah malam. Jalanan mulai sepi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan yang melintas. Lampu jalan redup berpendar di permukaan aspal, menciptakan bayangan panjang yang mengikuti setiap langkahnya.
Seperti biasa, jalur pulangnya melewati jembatan penyeberangan. Udara malam terasa dingin, angin bertiup pelan, membuat rambutnya sedikit berantakan. Namun, langkahnya terhenti sesaat ketika matanya menangkap sosok yang tak asing.
Di bawah salah satu lampu jalan yang temaram, seorang gadis berambut panjang tengah berbicara dengan seorang pria. Andra mengenali gadis itu dalam sekejap. Marsha.
Gadis itu tampak sedang dalam proses tawar-menawar dengan seorang calon pelanggan. Cara bicaranya santai, seolah ini bukan pertama kali ia melakukan negosiasi seperti ini.
Andra tahu ia seharusnya tidak ikut campur. Ini bukan urusannya. Jadi, ia memilih untuk berpura-pura tidak melihat, berusaha melangkah melewati mereka tanpa menoleh.
Namun, telinganya tetap menangkap percakapan di antara mereka.
"Dua ratus aja deh, Mbak, gimana?" suara pria itu terdengar penuh harap, tapi juga licik.
Marsha tersenyum tipis, nada suaranya terdengar ringan tapi tegas. "Aduh, Mas… kurang itu. Tiga ratus lima puluh, baru gue mau."
Pria itu mendecak kesal. "Ah, mahal banget sih! Dasar lonte banyak mau!" cibiran itu keluar begitu saja, disertai sorot mata penuh hinaan.
Andra menghentikan langkahnya. Rahangnya mengeras. Ia tahu seharusnya tetap melanjutkan perjalanan, tapi entah kenapa, kata-kata itu membuatnya kesal.
Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan mendekat.
ESTÁS LEYENDO
No Strings Attached? [End]
FanfictionDi suatu malam yang sunyi, Andra menerima tawaran dari seorang perempuan asing yang menjual tubuhnya. Tanpa banyak berpikir-didorong oleh stres dan kelelahan-ia menerimanya. Malam itu, keduanya berbagi kehangatan tanpa nama, tanpa ikatan. Namun, kee...
![No Strings Attached? [End]](https://img.wattpad.com/cover/388959992-64-k305939.jpg)