"Ngomong-ngomong," lanjutnya, kini dengan nada yang lebih santai, "makasih ya, semalam uangnya udah dilebihin. Gue terbantu banget."

Andra mengangguk ringan. "Sama-sama." Namun, setelah berpikir sejenak, ia menatap Marsha dengan sedikit ragu sebelum akhirnya bertanya, "Tapi… lo mau ngelanjutin kerjaan itu, Sha?"

Marsha terdiam sejenak, lalu menatap Andra dengan seringai jahil. "Kenapa? Lo cemburu bayangin gue tidur sama orang lain, Kak?" godanya, matanya berbinar nakal.

Andra mendengus, bersandar ke kursinya sambil melipat tangan di dada. "Mana ada," tukasnya cepat.

Marsha terkekeh, terlihat puas dengan reaksinya. Tapi kemudian, senyumnya sedikit melembut.

"Ya... untuk saat ini, cuma itu cara gue dapet duit," akunya, suaranya lebih tenang. Tidak ada nada penyesalan di sana, hanya kenyataan yang ia terima begitu saja.

Andra menatapnya tanpa berkata apa-apa untuk beberapa detik. Lalu, dengan suara yang lebih dalam, ia berkata, "Yah… gue doain semoga lo dapet kerjaan yang lebih baik."

Marsha terdiam sesaat, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Makasih, Kak," ucapnya tulus.

Andra mengangguk. Kemudian, seolah ingin mengalihkan suasana, ia menepuk meja pelan.

"Oiya, lo tadi mau makan, kan? Pesen aja sana, gue traktir."

Marsha langsung menegakkan punggungnya, matanya berbinar. "Wih, serius, Kak?"

"Iya, iya. Gue juga laper."

Marsha tidak menyia-nyiakan tawaran itu. Ia tersenyum lebar sebelum bangkit dari kursinya. "Oke, Kak," katanya riang, lalu melangkah menuju salah satu stand makanan.

Andra mengikutinya dengan pandangan mata, menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menghela napas panjang.

Gadis itu.

Pertemuan ini.

Semua ini terasa begitu tiba-tiba, dan jujur saja, ia masih belum tahu harus bagaimana ke depannya dengan Marsha.

Namun, satu hal yang pasti—ini bukan pertemuan terakhir mereka.

...

Setelah selesai makan siang, Andra dan Marsha berjalan berdampingan, menyusuri lorong-lorong kampus yang mulai sepi. Suara langkah kaki mereka bergema pelan di antara dinding beton, bercampur dengan suara mahasiswa lain yang masih berlalu lalang.

"Lo masih ada kelas, Sha?" tanya Andra, melirik ke arah gadis di sampingnya.

Marsha menghela napas kecil. "Iya, Kak, masih ada satu lagi. Mata kuliah wajib yang nggak bisa gue skip," jawabnya dengan nada sedikit lesu.

Andra mengangguk paham. Ia melirik jam tangannya, memeriksa waktu. "Kalau gitu, gue duluan ya. Gue ada shift sore ini," ungkapnya.

Marsha menoleh dengan rasa ingin tahu. "Lo kerja, Kak?"

"Iya, barista di kafe," jawab Andra santai.

Marsha langsung menyeringai, matanya berbinar jahil. "Ooh… pantesan lo punya duit buat bayar gue semalam," godanya, menekankan kata-katanya dengan nada menggoda.

Andra mendengus, menggelengkan kepala. "Dasar," gumamnya, malas menanggapi lebih jauh.

Saat mereka sampai di persimpangan lorong, Andra menghentikan langkahnya. "Yaudah, gue cabut dulu," ucapnya, lalu tanpa sadar, tangannya terangkat dan menepuk pundak Marsha ringan—refleks yang biasa ia lakukan pada teman-temannya.

Namun, begitu menyadari tindakannya, Andra buru-buru menarik tangannya kembali. "Eh, sorry… reflek," ujarnya cepat.

Marsha, yang sejak tadi hanya menggodanya, kini malah menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia melirik pundaknya, lalu menatap Andra dengan senyum usil yang masih tersisa di sudut bibirnya.

"Hati-hati, Kak," katanya ringan, suaranya terdengar sedikit berbeda dari biasanya.

Andra mengangguk, mengangkat satu tangan sebagai tanda perpisahan sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Marsha masih berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung pria itu yang semakin menjauh. Ia menggigit bibirnya, jemarinya tanpa sadar menyentuh pundak yang tadi ditepuk Andra.

Sejak awal, ia yang lebih sering melontarkan godaan, membuat Andra sedikit gelagapan. Tapi kini, entah kenapa, justru dia sendiri yang merasakan sesuatu yang aneh.

Hangat.

Sentuhan itu memang hanya sekilas, ringan seperti angin yang berembus, tapi anehnya, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Marsha menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran aneh yang mulai muncul di benaknya.

"Sial, kenapa gue malah jadi kepikiran?" gumamnya pelan, sebelum akhirnya berbalik, melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Bersambung

No Strings Attached? [End]Onde histórias criam vida. Descubra agora