22. Merasa Indah

704 120 23
                                    

Bila cinta ini tak nyata
Jangan engkau beri harapan
Sudah cukup kini kusadari
Terlalu cepat jatuhkan hati

— Merasa Indah, Tiara Andini.












"Jadi, keluarganya Pras udah tahu?" pekik Patin, begitu Ochi menceritakan apa yang terjadi kemarin. Well, minggu ini mereka—Ochi, Patin, Lintang, dan Rasti—ada janji temu di salah satu mall. Dan sembari menunggu duo ngaret alias Lintang dan Rasti, Ochi dan Patin duduk di dekat area playground sambil mengawasi Ganendra yang tampak asyik bermain di kolam bola.

"Tapi, ya gitu ..." Ochi mengedikkan bahu, "Eyang putrinya Mas Pras nggak nerima gue. Di mata beliau, masih Titi yang jadi idaman." Meloloskan napas gusar. "Ya gue maklum juga sih. Apalagi cara gue masuk ke keluarganya terbilang nggak sopan."

Patin menjetikkan jari. "Bagus kalau lo sadar diri."

Memancing dengkusan Ochi, bebarengan dengan itu bola matanya berputar malas.

"Sorry ya, Chi, bukannya gue mau ngungkit luka lama. Tapi meskipun lo sahabat gue, gue tetap nggak membenarkan apa yang udah lo lakuin di masa lalu," tutur Patin, mengambil sikap bijak. "Bicara soal gender, sebagai perempuan, mungkin gue nggak akan sekuat lo. Mungkin gue udah gila kalau ada di posisi lo. Ditinggal luar kota cuma buat tunangan sama perempuan lain, jelas itu hal yang menyakitkan, sekalipun kenyataannya nggak seperti apa yang kita bayangkan." Jeda, napasnya dihela. "Tapi kalau bicara soal karma, bisa jadi itu cara Allah menghukum lo. Nggak dengan ngelukain fisik lo, tapi justru misahin lo sama Pras."

Ochi diam—merenungkan perspektif Patin.

"Gue nggak bermaksud menggurui lo, tapi dari awal gue, Cik Ling, bahkan Rasti udah nanyain lo berkali-kali; apa lo yakin dengan tawaran Pras untuk nikah siri," ingatkan Patin pada kenangan silam. "Dan lo bilang lo yakin. Padahal lo tahu konsekuensi dari pilihan lo berpotensi merugikan lo di masa depan. Lalu sekarang terjawab." Menarik napas lagi, tatapan Patin tertuju lurus pada Ochi yang duduk di sebelahnya. "Chi, gue kayak gini bukan untuk bikin lo down. Nggak sama sekali. Gue ngomong gini karena gue care sama lo. Selain lo sahabat gue, gue nggak bisa bayangin gimana Ganendra kalau udah paham—"

"—gue bakal bawa dia pergi ke tempat yang nggak bisa Mas Pras jangkau," potong Ochi.

Membuat Patin terkesiap dengan mata mendelik shock. "Chi ..."

"Gue yang terlalu bucin, Tin," gumam Ochi, mengulas senyum getir. "Gue yang selalu nganggep dia serius, padahal kenyataannya dia nggak pernah sungguh-sungguh sama janjinya. Dia cuma bisa bilang nanti, iya, dan aku usahakan, tapi faktanya ..." Menyemburkan tawa sumbang, "goblok banget ya, Tin, sahabat lo ini?"

Patin genggam telapak tangan Ochi—berusaha menguatkan.

Kepala Ochi menunduk, melanjutkan, "Gue tahu gue salah. Gue nggak berharap untuk dibenarkan. Tapi ... nggak seorang pun paham keadaan gue. Nggak ada yang ngerti gimana rasanya jadi gue." Kelopak matanya mulai berkaca-kaca. "Ketemu Mas Pras ibarat nemuin lagi kebahagiaan yang hilang dari hidup gue. Makanya, gue rela lakuin apa pun supaya kebahagiaan yang saat itu gue genggam nggak hilang lagi." Rehat sejenak, menikmati debar yang terasa sesak. "Tapi gue nggak sadar, dengan ambisi yang nggak seberapa itu, gue malah mengorbankan harga diri dan masa depan. Gue nggak sadar logika gue udah ketutup sama hawa nafsu."

FEELING BLUEWhere stories live. Discover now