37. Ini kisahmu, kamu berhak tau

Comincia dall'inizio
                                    

"Lo tahu, kan, kalo pernikahan Mama sama Papa itu sebatas politik antara Mama, Papa, dan nyokap Reo. Mungkin Mama udah ngga kuat hidup dalam kekangan mereka dan akhirnya memilih buat menyerah," tambahnya dengan suara penuh getir.

"Tadi lo bilang apa? Gue merusak keluarga lo lagi? Oke, gue minta maaf kalo seandainya di masa lalu gue banyak nyusahin lo, tapi buat yang kali ini, maaf aja, mereka bukan keluarga lo, mereka orang tua gue. Bukan lo, Saga," ujarnya tegas, menekan telunjuknya pada dada Saga seakan-akan memasukan kata-kata itu ke dalamnya.

"Lo itu cuma orang asing," lanjutnya, mengepalkan tangannya dengan keras. Dia benar-benar ingin menangis sekarang. "Oleh karena itu, gue mohon jangan ikut campur masalah keluarga gue, karena selama ini, mau Mama atau Papa, dan bahkan gue, gak pernah sama sekali merasa lo bagian dari keluarga kami."

Saga merasa dunianya runtuh saat mendengar kata-kata Nafika. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Kenapa rasa dari ucapan itu seperti belati yang menyayat hati?

"Buat yang lo bilang tadi, kenapa gue ga sekalian bikin lo mati aja?" Nafika menatap Saga sayu. "Kenapa lo bisa mikir kalo gue bakalan tega lakuin itu? Lo tau kalo lo berharga buat gue, Sagara Marva Lazuardi, bahkan sangat berharga. Buat apa gue menghancurkan hidup orang yang bahkan hidupnya lebih berharga dari hidup gue sendiri?"

Saga terdiam, membiarkan setiap kata itu masuk ke dalam dirinya.

Tangis Nafika pecah menjadi serangkaian rintihan yang menyayat hati. Dia meremas dadanya yang terasa sesak, mencoba keras menahan tangisannya yang tak tertahankan. Setiap helaan napasnya terdengar tersendat-sendat, suaranya terputus-putus oleh gelombang emosi yang melanda.

"Gue engga tahu apa-apa, Saga," ucapnya di antara rintihan. "Gue cuma cewek manja seperti yang lo tahu. Kalo Mama sama Papa pisah, seharusnya gue punya lo buat pulang. Bukan dipukul kayak gini."

Saga merasa getar emosi yang sama menghantamnya. Dia merasakan betapa rapuhnya Nafika di hadapannya, seorang gadis yang selama ini dia anggap kuat dan tegar. Dalam sekejap, dunia mereka berdua terasa begitu rapuh, seolah-olah hanya butiran pasir yang terjatuh di antara jari-jari mereka yang gemetar.

Nafika menghapus air matanya dengan gemetar, mencoba meredakan gelombang emosi yang melanda dirinya. "Gue emang ga tahu apapun tentang lo," ucapnya dengan suara penuh keputusasaan.

"Gue gak tahu masa lalu lo, gak tahu perasaan lo ke gue gimana, gue bahkan gak punya masa lalu yang kita lewati bareng-bareng. Gue gak punya apa pun buat tahu apa salahnya gue."

Tatapan Nafika kosong. "Bahkan, kalo emang gue bikin keluarga lo hancur, gue juga ikut berharap kalo gue harusnya mati aja waktu itu."

Saga merasa bersalah, namun enggan untuk menghibur Nafika. Amarah masih membara di dalam dirinya, membuatnya ragu untuk menunjukkan kelembutan pada saat ini.

Nafika memaksakan dirinya untuk menatap Saga sambil tersenyum. "Tunggu gue ingat semuanya, saat itu gue pastikan kalo gue bakal minta maaf dengan benar." Dia berlalu melewati Saga yang bungkam seribu bahasa.

-dear nafika-

Nafika pergi meninggalkan Saga dengan langkah yang berat. Mata yang masih sembab karena habis menangis mengisyaratkan kepedihan yang belum sepenuhnya hilang. Dia melangkah menuju kelas dengan langkah yang lamban, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih kacau.

Saat berjalan, dia berpapasan dengan para teman-teman Reo yang baru saja kembali dari kantin. Namun, tak ada Reo di sana.

Yudha yang langsung tahu bahwa itu Nafika, segera menghampiri dengan perasaan cemas. "Pipi lo kenapa merah?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya memperhatikan dengan seksama wajah Nafika yang masih tersisa sisa air mata.

Dear Nafika badbaby sist!Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora