34

3.8K 215 4
                                    

Selamat membaca 😘



Kini Devan udah berada di ruang rawat Gallen. Dia duduk di sofa panjang yang ada di sana sambil mangku Arsel. Gak tau kenapa tuh anak gak bangun-bangun. Kek orang habis minum obat tidur.

Baru dibicarain, tiba-tiba Arsel gerak. Dia mengusel-usel di perpotongan leher Devan dan sedikit melenguh. "Kak Devan..." ucap Arsel dengan suara khas orang' bangun tidur.

"Hm?"

Arsel mendongkak menatap wajah tampan sang kakak. Gak ada angin gak ada hujan, Arsel tersenyum. Terlihat konyol karna anak itu belum membuka mata sepenuhnya. Alias setengah sadar.

Sedetik kemudian, raut wajahnya berubah masam. Kedua matanya yang sembab terlihat membendung air mata. Padahal hari ini cuacanya cerah banget. Tapi gak berpengaruh sama suasana hati Arsel yang masih campur aduk mikirin ayang.

"Gallen...." gumam si kecil. Dia menyandarkan kepalanya ke dada bidang Devan. Devan refleks mengusap dan mencium puncak kepala Arsel.

"Gallen ada"

Seketika mata Arsel terbuka lebar. Dia kembali mendongkak menatap kakaknya. "Beneran?! Di mana?!"

Sebenernya Devan gak tega ngeliatin kondisi Gallen ke Arsel. Tapi daripada Arsel kepikiran terus, habis itu dia demam, Devan makin gak tega. Akhirnya dengan mantap Devan memberitahu Arsel. Devan menunjuk ranjang tempat Gallen terbaring lemas dengan dagunya.

Arsel menoleh. Dari tempatnya dia bisa melihat kondisi Gallen. Cowok tampan, miliknya itu terbaring lemas dengan perban yang menyelimuti sekujur badan kekarnya. Arsel langsung turun dari pangkuan Devan dan mendekati ranjang Gallen. Cowok manis itu kembali meneteskan air mata entah ke berapa kalinya. "Gallen..." ucapnya lirih.

Arsel menggenggam tangan Gallen yang bebas infus. Arsel menunduk mendekatkan wajahnya ke tangan Gallen lalu menempelkan pipinya ke punggung tangan itu.

Devan hanya bisa melihat adegan itu dari tempatnya duduk. Dia gak mau ganggu waktu Arsel. Alasan! Sebenernya kaki dia mati rasa habis mangku Arsel hampir sejam.

Kalo Devin? Sekarang ini dia lagi berjongkok di samping makam seseorang. Kedua matanya juga sembab tanda dia habis nangis. Mirip banget sama Arsel.

"Allan, gue kangen sama lo"

Devin mengusap batu nisan yang terdapat foto seorang cowok tampan yang mirip dengan... Gallen?

"Lo tau, kakak lo usil banget! Sok-sokan banget mau jagain gue padahal dia suka ma adek gue...

Harusnya dia jagain adek gue lah! Bukan malah mau jagain gue! Sinting emang tuh orang"

Devin mengusap ingusnya yang kembali mengalir. "Sorry ya, gue belum bisa move on dari lo, gue sayang banget tauk!"

Air mata Devin lagi dan lagi membasahi pipinya. "Kenapa harus lo sih, gak dia aja" ucapnya sambil tersenyum.

"Andai waktu itu lo gak nganterin gue pulang pasti..."

"Jangan nyalahin diri kamu terus, Sayang" tegur Medina yang baru saja kembali. "Allan pergi karna emang ini sudah takdir, bukan kesalahan siapapun. Jangan seperti Gallen yang selalu nyalahin dirinya sendiri karna gagal jaga adeknya, ini bukan salah kalian"

Devin termenung. Memang benar kematian adalah rahasia Tuhan. Takdir setiap manusia. Tapi... Kenapa harus secepatnya ini?! Bahkan hubungannya dengan Allan baru berjalan setengah tahun.

"Mama mau kembali ke mobil dulu, kalo kamu udah selesai kangen-kangenannya sama Allan nyusul Mama ya" ucap Medina sambil mengusap kepala Devin lalu pergi meninggalkan Devin sendiri di pemakaman keluarga Danuarta.

"Uh keluarga lo gak ada yang waras deh, Lan"

"Gue mau nginep disini aja lah"













See you next chapter 😘

ARSEGAL [BL]Where stories live. Discover now