36

834 66 250
                                    

"Bangun! siap-siap sekarang. Gue yang anter lo ke sekolah. Cepet!" perintah Divan membuka paksa selimut yang menutupi tubuh Bia.

Gadis itu tidak tidur, dia hanya meringkuk seraya menutupi tubuhnya saja.

"Jangan lupa ganti perban di lengan lo itu, gak usah manja!" ketus Divan hendak melangkah pergi, tapi Bia mencegahnya.

"Bia takut, Kak. Bia nggak mau pergi ke sekolah," cicit Bia melirih. Ia merasa sekujur tubuhnya lemas, seolah tidak memiliki tulang.

"Lo harus sekolah, Bia. Harus!" Divan tetap kekeuh. "Sebentar lagi lo mau lulus, emang lo mau nilai lo makin anjlok?" imbuhnya.

"Lo mau bikin Papa makin benci sama lo? Hah?!" cerca Divan terus-menerus membuat Bia termenung.

"Setidaknya kalau lo gak bisa nyenengin Papa, lo harus nurut perintahnya. Papa itu tau yang terbaik buat lo, Bi. Jadi, jangan sampai lo kecewain Papa."

Divan sedikit menekan luka yang diperban di lengan adiknya, membuat gadis itu merintih. "Gue yakin lo berani, ngapain lo takut masuk sekolah? Mereka gak bakal bikin lo kaya gini, kalo bukan lo dulu yang cari masalah."

"Tapi, mereka-"

"Kapan-kapan aja cerita sama gue, lo siap-siap sekarang. Jangan males-malesan!"

Seperti perkataan Divan kemarin, hari ini juga Bia harus masuk sekolah. Sembuh atau tidak, dia tetap dipaksa bersekolah. Ini murni permintaan Dev pada Divan yang menyuruh Bia untuk bersekolah. Dev tidak ingin nilai Bia makin anjlok.

Divan tau, Dev tidak ingin Bia mempermalukan keluarganya lagi, maka dari itu ia menuruti permintaan Dev dengan gampangnya, padahal keadaan Bia masih belum sembuh total.

Divan juga pernah SMA, meskipun dia pernah malas. Tapi ia tidak pernah absen mendapatkan rangking di kelasnya. Tapi Bia? Adiknya itu, sangat berbeda dengannya.

Bahkan sedari dulu, Divan tidak pernah mendengar kabar jika Bia mendapatkan rangking, yang ada hanya mempermalukan keluarganya.

Divan menyayangi Bia, dia mau melakukan yang terbaik untuk adiknya. Dia tidak ingin adiknya terus menerus di hina hanya karena jerawatan.

Setidaknya ia berusaha membuat Bia menjadi gadis mandiri dan tidak mudah menangis hanya karna mulut seseorang.

Perkataan Divan memang sangat benar, Bia tidak ingin membuat Dev semakin membencinya. Dia harus berusaha untuk membuat Dev luluh lagi seperti dulu.

"Inget, Bi. Gue tau lo belum sembuh sepenuhnya, tapi lo jangan kumat di sekolah, ya? Jangan sampai lo malu-maluin kita lagi."

"Iya,"

Divan sontak mengernyit mendengar jawaban singkat dari Bia. Tapi setelahnya, ia menghendikkan bahunya acuh, melangkah pergi meninggalkan kamar Bia.

Selang beberapa menit, Bia akhirnya siap dengan seragam sekolahnya. Tak lupa dengan sweeter kuning yang membungkus seragam atasnya, hingga merasa tubuhnya hangat.

Bia beranjak, melihat penampilannya lagi di depan kaca. Matanya tidak sengaja melihat jajaran skincare-nya dengan mata tidak selera.

Kali ini Bia pergi ke sekolah tanpa skincare ataupun sekedar memberi polesan di bibirnya. Bia tidak punya energi untuk melakukannya, dia terlalu lemas.

"Sini makan dulu, Non. Mbok udah masakin bubur kesukaan Non Bia," tutur Mbok Ijah menarik sudut bibirnya, tersenyum pada Bia yang mulai menuruni anak tangga. Mbok Ijah tau kalau Bia masih sakit, makanya dia lebih memilih membuatkan Bia bubur agar mudah dicerna.

Divan menatap Mbok Ijah singkat. "Jangan terlalu dimanja, Mbok. Udah gede dia itu," tegurnya sembari memotong daging di atas piring.

Mbok Ijah melirik Divan sekilas, lalu tersenyum kaku.

DRABIA Where stories live. Discover now