34

771 95 284
                                    

Bia meringkuk, memeluk dirinya sendiri seraya menundukkan kepala. Enggan menatap Alvin.

"Biaaa.. hei," Alvin berkata lembut.

Laki-laki itu menatap Bia seraya berusaha mendekati tubuh gadisnya, tetapi Bia terus saja menghindar.

"Lo kenapa, Bi? Kenapa lo takut sama gue? Gue salah apa sama lo?" tanya Alvin tanpa henti.

Melihat Bia yang tetap meringkuk ketakutan, semakin membuat Alvin bertanya-tanya kenapa Bia jadi berubah seperti ini.

Merasa tubuh Bia sudah berada di ujung, Alvin bergegas membawa tubuh Bia kedalam dekapannya, menghiraukan gadis itu yang meronta ingin dilepaskan.

"Lepasin gue!" pekik Bia melirih. Tangannya memukul dada bidang Alvin.

"Sttt, udah. Lo harus tenang, lo baru sadar, Bia. Gue gak bakal nyakitin lo," ujar Alvin mengelus lembut puncak kepala Bia dengan sayang.

"Pergi Alvin. Bia gak mau Alvin di sini," cicit Bia dengan mata berkaca-kaca.

Hatinya sakit, ingatannya tentang kejadian waktu itu membuat dirinya sendiri ketakutan. Mengingat kembali bahwa dirinya hampir berada diambang kematian, hanya karena dia seorang, Alvin penyebab utamanya.

Bia tidak ingin menyalahkan Alvin atas kejadian yang menimpanya, tapi karena berada di dekat Alvin ia merasa bahwa dunianya terancam.

Bia merasa tidak aman. Bahkan sedari dulu ia berpacaran dengannya, sekalipun bia tidak pernah merasa Alvin menolongnya.

Meminta pertolongan pada Alvin hanyalah angan-angan bia saja yang tidak akan pernah bisa terwujud. Entah, sampai kapan laki-laki itu akan melunak padanya.

"Lo pasti trauma, ya? Maafin gue, Bi. Gue gak ada disamping lo saat lo butuh bantuan gue," ucap Alvin seraya menepuk-nepuk pelan punggung Bia.

"Emang kapan lo ada saat gue butuh bantuan lo? Lo gak pernah ada!" sahut Bia tetap meronta-ronta. "Lepasin gue, Alvin!"

Alvin diam tak berkutik, tidak menjawab satupun kata untuk menentangnya karena memang benar adanya, selama ini dia tidak pernah ada saat Bia membutuhkannya. Jadi untuk apa ia marah?

Laki-laki itu langsung semakin mengeratkan pelukannya. "Iya lo bener, gak usah marah lagi," jawab Alvin lembut.

Seolah terhipnotis dengan kata-kata Alvin, pukulan Bia semakin melemah. Gadis itu diam, tidak meronta lagi seperti tadi. Bia tenggelam dalam kenyamanan yang Alvin berikan.

Pelukan hangat dari Alvin mampu membuat isak tangis Bia tidak berbendung lagi. Tangisnya akhirnya pecah, membuat Alvin tersenyum tipis. Kemarahan, dan kedongkolan di hatinya serasa luruh saat itu juga.

Alvin memang selalu menjadi solusi di semua masalah yang Bia hadapi.

Gadis itu semakin menangis, balas memeluk Alvin tak kalah erat. Pelukan ini, membuat luka yang Bia dapatkan selama ini perlahan terobati, seolah-olah pelukan dari Alvin lah yang selama ini Bia tunggu-tunggu.

"Jangan nangis, bilang ke gue kalo ada yang sakit," ucap Alvin lembut, berusaha menenangkannya.

Merasa tangis Bia semakin kencang, Alvin terus menepuk-nepuk punggung Bia panik.

"Lo hebat bisa bertahan, Bia.. tapi gue mohon. Jangan nangis dong, entar dikira gue macem-macemin lo lagi. Emang lo mau gue di usir sama temen brengsek lo itu?" cibir Alvin menyindir Leon.

Laki-laki itu seakan lupa dengan sikapnya selama ini terhadap Bia. Dia menjadi pribadi yang berbeda sekarang.

"Bia takut banget, bia merasa hidup Bia mau berakhir waktu itu Alvin," adu Bia pada Alvin. Isak tangisnya mulai mereda.

DRABIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang