"Tapi, kenapa harus tanpa Zivana?" Bastian masih tak mengerti. "Dia udah nggak punya siapa-siapa selain kita." Bastian menekan kata-katanya, menahan diri untuk tak berteriak pada sang kakak.

"Ini permintaan Zivana," jelas Baskara, reflek mengingat hal terakhir yang Zivana katakan beberapa hari lalu.

"Pakai uang Evan buat pergi sejauh-jauhnya. Kakak bebas pilih mau pergi ke mana aja, asal jangan menetap di sini. Aku nggak mau mereka atau polisi sampai nangkap Kakak dan Bastian begitu rencana ini dijalankan. Cuma sebatas ini yang bisa aku lakukan buat ngelindungin dan balas semua kebaikan kalian. Aku harap Kakak dan Bastian bisa hidup dengan baik ke depannya."

Baskara menghela kasar sebelum kembali bicara pada Bastian. "Terlalu beresiko buat kita, buat Zivana juga, kalau kita masih tetap di sini. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya membantu Zivana dengan pergi dari sini biar rencananya bisa berjalan dengan baik. Gue janji, nanti, setelah semua ini selesai, kita bisa ketemu Zivana lagi."

Setelah perdebatan itu, Bastian pun tak punya alasan untuk menentang.

Maaf, Bastian.

Baskara memandang punggung sang adik yang akhirnya berjalan masuk ke dalam kabin pesawat. Untuk sesaat, ia hanya diam di lorong garbarata. Matanya menatap keluar dinding kaca, memandang landasan pacu beratap langit kelam tanpa bintang yang membentang luas.

"Hanya dengan cara ini, kita bisa bebas."

Perkataan Zivana masih terekam jelas di ingatannya. Baskara membuang napas panjang, menyadari jika makna kata 'bebas' yang Zivana ucapkan harus dibayar dengan perpisahan semacam ini.

...

Karena harus bertemu psikolognya lebih dulu, Zita baru sempat membuka amplop tanpa nama pengirim yang diterimanya dari petugas pos siang tadi. Begitu ia melihat isi yang ada di dalamnya, hatinya terasa sakit.

Sebuah kalung dengan bandul kunci yang sempat hilang saat insiden bom di gedung olahraga, kini kembali padanya bersama secarik kertas yang mengiringinya. Setelah ingatannya kembali, barulah ia ingat jika kunci kecil itu adalah tuas kotak musik yang diberikan Galen padanya dan Zivana belasan tahun lalu. Hadiah terakhir sebelum mereka dipisahkan oleh keadaan dan semua kekacauan terjadi di antara mereka.

Air matanya menetes. Hatinya diserang kerinduan, tapi juga perasaan bersalah yang tiada habisnya.

Tangannya meraih kertas surat, mulai membaca deretan kata yang tertulis di dalamnya. Tak banyak yang pengirimnya tulis, hanya ada sebuah alamat dan satu pesan ajakan bertemu.

Jam 8 tepat. Datang sendiri dan ayo kita akhiri semua ini.

Ia langsung tahu tanpa perlu mempertanyakan siapa si pengirim surat.

Zita melirik jam di dinding kamarnya. Masih satu jam lagi sebelum jam 8, itu pun jika yang dimaksud dari pesan itu adalah jam 8 di malam hari. Tanpa banyak berpikir, dihapusnya bekas air mata yang ada di wajahnya, kemudian bergegas menuju alamat yang dicantumkan di dalam surat itu.

Ia tak mau membuang waktu lebih banyak lagi. Ia sudah melewatkan banyak hal karena terlambat menyadari jika Kayla adalah Zivana, dan kali ini, ia tak ingin membuat Zivana menunggu, meski tahu saudari kembarnya itu tak akan pernah menyambutnya dengan senyuman ramah.

...

Zivana duduk di lantai rumah yang sudah belasan tahun tak dihuni. Rumah yang pernah hangat saat dulu ia tinggali bersama Maria, Galen, dan Zitania.

Sebelah tangannya terangkat untuk melihat jam yang berada di pergelangan. Kepalanya lantas bersandar pada dinding di belakangnya. Matanya memejam disusul helaan dan senyuman kelegaan.

My True Me (END)Where stories live. Discover now