Lima Puluh

159 10 22
                                    

1737 kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1737 kata...

Haduh, aing sedih di part ini.

...

Ridan menunggu di ruang UGD dengan perasaan cemas. Padahal baru beberapa waktu lalu, ia melihat Moza tersenyum cerah hanya karena kupu-kupu jelek buatannya. Namun, saat ia kembali ke rumah gadis itu usai mendengar suara Iddar di sambungan telepon, yang ia temukan justru keadaan Moza yang sudah pingsan di kamar dengan pergelangan tangan kiri berlumuran darah.

Siku Ridan bertumpu di atas paha, tangannya yang penuh darah meremas kepala. Ia tak tahu apa yang sudah Iddar lakukan hingga Moza bertindak nekat seperti ini, tapi seandainya ia tak langsung pulang setelah mengantar gadis itu, mungkin hal ini tak akan terjadi.

Theo lari tergopoh menghampiri Ridan. Begitu Iddar mematikan panggilan video mereka, Theo berulang kali menghubungi ponsel Moza dengan harapan gadis itu mengangkatnya dan Iddar hanya menggertaknya saja. Hingga, saat teleponnya akhirnya diangkat dengan suara Ridan yang menjawab, kabar mengenai kondisi Moza membuat Theo tak hisa untuk tak membuatnya semakin panik.

“Gimana keadaan Moza?”

Mendengar pertanyaan itu, Ridan langsung bangkit dari duduknya dan melayangkan pukulan ke wajah Theo.

“Gue udah bilang, selesaikan masalah lo sama Iddar!” Ridan menggeram marah pada Theo yang jatuh terduduk di lantai. "Lo sendiri yang bilang kalau lo berharap Moza nggak terluka lagi, tapi lihat apa yang terjadi sekarang? Moza mencoba mengakhiri nyawanya sendiri!”

Theo hanya bisa menunduk. Sama sekali tak berupaya untuk bangkit. Tak punya sedikit pun kemampuan untuk melawan. Apa yang terjadi pada Moza nyatanya memang terjadi karena dirinya. Gadis itu hanya dijadikan umpan untuk menyerang psikisnya.

...

Ridan tersenyum saat Moza akhirnya membuka mata. Meski begitu, Moza yang baru tersadar bisa melihat mata sembab lelaki itu.

“Lo abis nangis?” tanya Moza.

Ridan yang duduk di kursi samping brankar hanya menggeleng. “Gimana kondisi lo? Ada yang sakit?”

Moza menggeleng pelan.

“Sori, gue nggak ijin lo dulu, tapi tadi gue telepon ortu lo soal ini,” kata Ridan, “dan katanya, papa lo bakal langsung cari penerbangan tercepat.”

Moza diam sejenak. Memandang wajah Ridan lekat-lekat, lalu tersenyum. “Thanks, ya.”

Ridan tak lagi bersuara. Walau bibirnya masih menunjukkan senyum, otaknya dipenuhi berbagai macam pikiran. Ia sudah tentu marah atas tindakan Moza, tapi di sisi lain ia menyadari jika rasa sakit Moza atas kejadian dua tahun lalu sepenuhnya sembuh.

“Dan ...,” panggil Moza lirih.

“Hm?” Ridan menaikkan alisnya.

Moza menggeleng, mengurungkan apa yang sempat ingin ia ucapkan. “Gue baru sadar, kalau ternyata lo cakep juga.”

My True Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang