Tiga Puluh Sembilan

164 17 37
                                    

Beberapa pelayat mulai beranjak setelah memanjatkan doa di depan sebuah makam yang bertaburan kelopak bunga segar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa pelayat mulai beranjak setelah memanjatkan doa di depan sebuah makam yang bertaburan kelopak bunga segar. Meski sempat dibawa ke UGD dan mendapat pertolongan, Reinaldi Oktavian Prawira terpaksa menghembuskan napas terakhirnya karena kerusakan pada paru-paru akibat dua tusukan yang diterimanya.

"Zita nggak turun?" tanya Moza, pada Theo yang berdiri di sebelahnya.

Lelaki itu menoleh ke arah mobilnya yang terparkir di depan pemakaman, lalu memberi gelengan kepala diiringi embusan napas panjang. Ia tahu sepupunya itu masih terpukul. Meski bersedia ikut ke pemakaman, nyatanya Zita tak mampu jika harus mengucap salam perpisahan di depan makam Reinaldi langsung.

Gadis itu lebih memilih berdiam diri di mobil, larut dalam kepedihan, bahkan mungkin sedang menyalahkan diri sendiri.

Ridan yang berdiri di samping Moza menatap gundukan tanah basah yang ada di hadapannya. Apa yang terjadi pada Reinaldi membuatnya merasa deja vu. Ia seolah sedang mengulang rasa sakit karena perginya seorang teman beberapa tahun lalu. Apalagi penyebab kepergian keduanya pun nyaris serupa.

(Baca ALTRAKSA (My Absurd Husband) karya rizkiandst)

Ridan tak mengenal Reinaldi secara pribadi. Interaksinya dengan pria itu pun tak banyak terjadi. Namun, ia tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang teman seperti yang tengah Moza, Theo, Kayla, dan beberapa teman Reinaldi tengah rasakan sekarang.

Ridan mengembuskan napas berat. Ada rasa sesak yang menghimpit dada. Ia seolah sedang mengulang rasa sakit. Ia pernah kehilangan orang tua belasan tahun silam, lalu ditinggal pergi seorang teman beberapa tahun lalu. Nyeri, perih, sakit, sesak, semua campur jadi satu. Meski sudah pernah merasakan kehilangan, nyatanya tak ada orang yang akan baik-baik saja jika dihadapkan pada kehilangan yang sama.

Ujung lengan kemeja hitam Ridan terasa ditarik, membuatnya menoleh, menatap Moza yang kini tengah memandangnya.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya.

Ridan mencoba tersenyum, lalu mengangguk. "Lo sendiri?"

Tak hanya dirinya. Moza pun pernah merasakan dua kali kehilangan. Mamanya, kemudian neneknya. Jika Ridan saja merasa sesesak ini, gadis yang lebih mengenal Reinaldi itu pun pasti merasakan hal yang tak jauh berbeda.

Ridan meraih tangan Moza, menggenggamnya. Membuat Moza tersenyum tipis, turut memberikan anggukan pelan untuk menunjukkan jika dirinya pun baik-baik saja.

Sementara itu, di dalam mobil, Zita memandang keluar jendela. Matanya menatap kosong pada langit cerah tak berawan. Ia hanya diam, mencoba memenuhi otaknya dengan berbagai banyak hal agar tak larut dalam kesedihan. Namun, sekuat apa pun ia mencoba memikirkan hal lain sebagai pengalihan, nyatanya rasa pedih jelas lebih mendominasi emosinya saat ini.

Air matanya kembali jatuh, entah untuk yang ke berapa kali. Ia menekuk lutut, memeluk kakinya erat, menyembunyikan tangis yang untuk ke sekian kalinya gagal ia redam.

My True Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang