Enam Puluh

160 7 20
                                    

Entah rusuknya retak atau mungkin patah, sakit di bagian dadanya semakin terasa menyiksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah rusuknya retak atau mungkin patah, sakit di bagian dadanya semakin terasa menyiksa. Meski berhasil menumbangkan satu orang terakhir, Adifa tak yakin bisa mengalahkan dua orang yang berada di parkiran bawah.

Kakinya berjalan melewati turunan sambil memegangi dada kanannya dengan napas terengah. Namun, setibanya di bawah, setelah menoleh ke kanan dan kiri, ia tak menemukan dua orang yang lain berada di area itu.

Dahinya berkerut. Ia mempercepat langkah, khawatir dua orang itu berhasil menangkap Sherly dan membawanya pergi.

Langkah Adifa melambat saat tiba di deretan mobilnya terparkir. Dilihatnya, Sherly tengah duduk di lantai dengan punggung bersandar pada bagian depan salah satu mobil. Mulutnya sedikit terbuka dengan napas tampak terengah. Matanya menatap dingin pada dua orang pria yang kini terkapar di lantai.

Menyadari kedatangannya, gadis itu menoleh, melempar senyuman tipis di tengah deru napasnya yang tak teratur. Ditatapnya Adifa yang sama terengahnya dengan wajah basah oleh keringat berhias memar kemerahan di area dagu.

“Lo kelihatan kacau,” sindir gadis itu.

“Kata orang yang pelipisnya sobek,” sahut Adifa sambil melirik lecet berdarah di ujung alis kanan gadis itu. Adifa berpegangan sejenak pada kap mobil di dekatnya. Meski tahu akan sakit, hidungnya menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan melalui mulut, berharap rasa sakit di area tulang rusuknya sedikit berkurang.

You okay?” tanya gadis itu, menyadari kesakitan di raut wajah Adifa.

Adifa menegakkan badan saat rasa sakitnya sama sekali tak berkurang. “Nggak sebaik lo, Mil.”

Gadis itu menyunggingkan senyum. “Wow. Lo bisa bedain kami sekarang?”

Mata Adifa menatap Mila, lalu pada dua orang yang tak sadarkan diri di hadapannya. “Sederhananya, nggak mungkin Sherly atau Zita yang bisa buat mereka tepar kayak gitu.”

“Gue anggap itu pujian.” Mila lantas bangkit, berjalan mendekat ke arah Adifa. “Mau gue antar ke rumah sakit?”

“Kita di rumah sakit sekarang.”

“Oh, iya,” ucapnya. “Bagusnya lo bisa langsung dapat perawatan.”

Baru saja berniat pergi, suara ponsel berdering membuat langkah mereka terhenti. Tak hanya satu, tapi dua suara sekaligus, berasal dari dua lawan yang sedang tak sadarkan diri.

Memilih abai, Mila lanjut membantu Adifa berjalan. Namun, dua suara itu seketika berhenti, berganti dengan dering yang lain.

Hape gue,” ucap Adifa sambil menoleh pada SUV putih yang berjarak dua mobil di depan mereka dalam kondisi pintu terbuka. “Tadi gue nyuruh Sherly telepon Ridan. Mungkin itu dia. Bisa lo ambilin?”

“Sherly belum sempet telepon Ridan karena dua orang itu udah keburu nemuin dia.” Mila menjawab sambil berjalan menuju mobil. “Habis itu, gue ambil alih kesadarannya buat ngurusin mereka.” Mila mengambil ponsel yang tergeletak di bawah pintu mobil. Alisnya terangkat saat melihat layar ponsel. “Private number.”

My True Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang