"Kamu mimisan Lahya?" tanya Miss Pretty dari papan tulis di depan.

"Maaf Miss. Lahya izin ke toilet lagi, ya, Miss?" izin Lahya sudah berdiri untuk kembali ke toilet.

"Lahya, Lahya!"

"Iya Miss?"

"Langsung ke UKS saja. Materi kelas sore bisa kamu salin dari teman kamu. Kalau kamu mau, bisa pulang saja, tidak apa-apa," ujar Miss Pretty kasihan dengan siswanya.

"Baik Miss," jawab Lahya cepat langsung berlari untuk ke UKS saja. Kebetulan di sana ada wastafel.

Miss Pretty memang terkenal sebagai guru terkiller di SMA Tunas Bangsa, namun juga sangat peduli terhadap siswa-siswanya. Mungkin Lahya akan memutuskan beristirahat di UKS sampai kelas sore selesai. Buru-buru Lahya menuruni tangga dari lantai 3, sebab UKS ada di lantai bawah. Setelah sampai di UKS, ia langsung mencuci hidungnya sampai bersih. Ia mengecek wajahnya melalui cermin kecil yang tergantung di atas wastafel UKS.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu UKS dan terbuka membuat Lahya menoleh untuk melihat siapa yang masuk.

"Ini tisunya, aku taruh sini," ucap Rama menaruh sebungkus kecil tisu di bangsal yang paling dekat dengan pintu.

"Kak Rama?" gumam Lahya senang melihat Rama setelah satu bulan lebih tidak pernah bertemu dengan seniornya itu.

Rama mengangkat sebelah alisnya melihat Lahya tersenyum. Ia berusaha cuek saat melihat Lahya keluar dari toilet dalam keadaan pucat. Akan tetapi, ia gagal tatkala Lahya berlari turun dari kelas menuju UKS. Apalagi melihat Lahya mimisan, ia khawatir setengah mati. Tadinya Rama sedang bermain basket bersama teman sesama alumninya di SMA TB, tapi ia tinggal pergi ke warung depan sekolah hanya untuk membelikan gadis ini tisu.

"Kak Rama apa kabar?" tanya Lahya.

Rama urung menutup pintu UKS. Ia tersenyum, "Baik. Kamu dan Gus Alif, apa kabar?"

Lahya mengangguk berjalan mengambil tisu pemberian Rama. "Alhamdulillah, baik juga."

"Kamu, sepertinya tidak."

"Cuma kecapean," balas Lahya mengusap sisa air wajahnya dengan tisu pembarian Rama. "Terima kasih banyak, ya, Kak."

"Sama-sama. Lain kali jangan dipaksakan kalau gak sanggup, pulang aja. Hadir kelas sore gak terlalu berpengaruh ke nilai yang penting hasilnya nanti."

Lahya mengangguk mengerti. "Kak Rama kemana aja gak pernah melatih paskib dan pencak silat lagi?"

"Program mengajar kampus merdeka sudah selesai," alibi Rama. Padahal, ia tidak sanggup untuk bertemu Lahya setiap melatih. Bertemu Lahya sama saja ia mencari penyakit. Iya, penyakit. Lukanya kembali basah saat melihat Lahya, Lahya yang sudah menjadi milik orang lain. Ia sakit saat mengingatnya.

"Istirahat. Aku mau balik main basket lagi," pamit Rama.

Lahya mengangguk. Ia menuju salah satu bangsal untuk berbaring di sana. Lahya memegang dadanya. Ada desir aneh yang menyelimuti jantungnya. Kenapa terasa sakit? Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya setelah bertemu Rama?

"Dek?!"

Lahya berbalik. "Iya? Ada apa, Kak?"

"Bahagia, ya, selalu."

Lahya mengernyitkan dahinya tidak mengerti.

"Itu katamu dua tahun lalu. Katamu, membahagaiakan diri sendiri itu lebih penting dibanding membahagiakan orang lain. Sama seperti menghibur. Kamu tau aku paling pintar menghibur orang lain, tapi selalu gagal untuk menghibur diri sendiri. Kamu bilang, kalau hobiku suka mengibur orang lain, kenapa tidak coba membahagiakan diri sendiri lewat orang lain yang terhibur. Dengan begitu aku bisa bahagia melihat orang lain bahagia karena hiburanku. Benar begitu, bukan?"

ALIFWhere stories live. Discover now