32. Pertimbangan

76.8K 5.8K 1.1K
                                    

Mari untuk melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

Mari untuk melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lahya melepas helmnya tanpa berkedip sekalipun melihat Ning Farah tersenyum menyambut kepulangannya. Ning Farah duduk di teras rumah bersama seorang perempuan yang ia tidak kenal siapa itu.

Lahya menoleh melihat mobil putih yang terparkir di halaman rumahnya. Di dalam mobil itu ada seorang laki-laki yang berpenampilan seperti santri. Sepertinya sedang menunggu kedua perempuan yang sekarang juga menunggunya.

"Sini tasnya biar Mas Gian bawa masuk. Kamu temui dulu tamunya," ujar Gian menarik tas dari punggung pemiliknya.

"Seragam Lahya bau," keluh Lahya malu jika bau badannya sehabis latihan tercium oleh tamu.

"Biar jadi bahan ghibah kalo tamunya udah pulang. Itung-itung kamunya dapet pahala gratis," jawab Gian langsung dicubit Lahya dibagian perutnya.

"Maksud Mas Gian aku beneran bau?" marah Lahya.

Gian menampar pelan tangan Lahya sampai lepas. "Malu diliat tamu itu ah," gumam Gian tersenyum canggung melihat tamu keponakannya ini. "Sudah sana."

Laki-laki bertubuh jakung itu berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah. Jika orang tidak tahu Gian adalah paman Lahya, mungkin mereka akan mengira bahwa Gian adalah kakak kandungnya. Wajah cantik Lahya yang turun dari ibunya dan wajah tampan Gian mirip kakak kedunya, yaitu ibu Lahya. Jadi, tidak heran jika tetangga banyak yang mengira bahwa mereka kakak beradik.

Lahya berusaha mengatur mimik wajahnya. Ia tersenyum menghampiri Ning Farah yang berdiri saat ia menyalami tangannya.

"Assalamu'alaikum Ning!" salam Lahya mencium tangan Farah, bagaimana pun juga perempuan ini jauh lebih tua darinya. Mana keturunan kiyai pula, berharap Lahya dapat berkah ilmunya.

"Wa'alaikumussalam Lahya. Aku nungguin dari tadi loh. Kenapa pulangnya sampai larut sore?"

Lahya duduk di salah satu kursi berhadapan dengan Ning Farah. "Sebentar lagi lomba pencak silat tingkat provinsi Ning, jadi latihannya sampai sore terus. Entar malem masih dilanjut lagi, tapi sekarang lagi dibreak sampai isya."

"MasyaAllah kamu hebat banget bisa lolos sampai tingkat provinsi. Aku gak nyangka anak kecil yang lemah, yang dulu pernah diselamatkan Gus Alif sekarang jadi perempuan tangguh," puji perempuan cantik berhijab rapi itu. Sangat rapi. Sampai akhlaknya pun rapi, tercermin dari cara berpakaiannya yang syari.

"Alhamdulillah Ning. Ini semua atas izin Allah."

"Ngomong-ngomong kalau kamu sibuk dan fokus latihan silat, gimana sekolah kamu? Bukannya sebentar lagi Ujian Nasional?" tanya Ning Farah.

"Tau saja Ning Farah," kekeh Lahya memainkan tangannya yang sudah berkeringat. Memang tersisa dua bulan lagi kelas 12 akan melaksanakan Ujian Nasional. Dan Lahya malah fokus pada lomba terakhirnya untuk membawa naik nama SMA TB ke provinsi.

ALIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang