27. Menantang

81.4K 6K 535
                                    

Mari untuk melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

"Dihari itu, di waktu itu, detik itu juga, Allah langsung memberi saya anak gadis sebagai ganti dari Ning Farah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dihari itu, di waktu itu, detik itu juga, Allah langsung memberi saya anak gadis sebagai ganti dari Ning Farah."

Lahya berdecak kecewa. "Dih! Cowok mah gitu masa gak ada basa-basinya dulu. Galau kek, move on dulu kek, masa bisa langsung cari pengganti gitu aja. Mana anak gadis lagi. Asli halo dek sih ini."

Alif masih berusaha menahan senyumnya. "Saya kan pernah bilang. Sakit hati itu ada, tapi sakit hati saya hari itu ketutup karena ada anak kecil yang gak bisa kenalin saya. Itu lebih buat saya sakit hati."

Lahya melirik Alif sedikit tidak enak. Ia tidak tahu bahwa kehadirannya semakin membuat hati Alif hari itu semakin berat. Andai hari itu Alif langsung memberi tahu siapa dirinya pada Lahya, mungkin mereka bisa saling menyalurkan rasa sakit itu menjadi sebuah obat rindu.

"Berhenti ya, Ya? Berhenti bahas Ning Farah. Saya sudah ikhlas dia menikah dengan sahabat saya."

Lahya mengangguk kikuk.

"Berhenti berspekulasi bahwa saya masih memikirkan perempuan yang akan sebentar lagi akan menjadi istri sahabat saya sendiri."

Lahya mengangguk lagi.

"Percaya dengan saya ya, Ya? Saya jujur."

"Lahya percaya. Jangan sedih gitu dong, kan, Lahya jadi ikut sedih. Ngenes banget sih, Gus."

"Lahaula!" gumam Alif heran melihat wajah cemberut Lahya yang ikut sedih. Padahal ia sedih bukan karena Ning Farah, tapi ia sedih karena tidak ada yang mau percaya bahwa ia sudah ikhlas.

"Lahya kira Gus gak kayak temen-temen cowok Lahya yang gampang cari pengganti."

"Maksud kamu? Kita berhenti, jangan masuk kelas dulu. Nanti yang lain dengar obrolan kita."

Lahya mengangguk. Ia menyandarkan tubuhnya ke tembok pembatas lantai 3 depan kelasnya. Matanya melihat ke lapangan bawah, menonton anak basket sedang latihan untuk persiapan tanding.

"Malik!" panggil Lahya lalu tangannya menunjuk ke lapangan bawah. "Yang nomor punggung 10."

Alif mencari anak basket yang bernomor punggung 10. Tidak sulit untuk langsung mengetahui arah jari telunjuk Lahya. "Kenapa?"

"Bulan lalu ngajak Lahya pacaran."

Alif menoleh melihat Lahya. "Kamu terima?"

Lahya menggeleng. "Tidak ada istilah pacaran dalam Islam, kan, Malik?"

"Anak pintar!" bangga Alif tersenyum. "Terus dia kenapa?"

"Pem-bo-hong," kata Lahya mengejanya. "Dia bilang cinta ke Lahya, lalu ngajak Lahya pacaran. Lahya jawab kalau memang mau serius harusnya berani datangin bapak. Tapi, alasannya dia masih sekolah. Sudah tau begitu malah ngajak pacaran. Mana gak sampai seminggu Lahya dengar dia punya pacar. Omong kosong bukan? Harusnya kalau memang benar cinta, adalah sedikit usaha untuk perjuangin Lahya."

ALIFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang